Written by Yui Shinji
Posted in:
Setelah Hye-mi menyiram muka Kae-in, Jin-ho langsung marah dan menyeret Hye-mi keluar. Sang-joon menolong Kae-in membersihkan mukanya saat In-hae datang dan menyindir Kae-in. Ayah Chang-ryul terlihat senang Jin-ho membuta ulah di pesta itu. Tapi Chang-ryul terlihat sebaliknya, ia merasa prihatin dengan nasib Kae-in.
Kae-in membersihkan dirinya di toilet. Ia kesal karena Jin-ho memberi harapan pada Hye-mi padahal ia tidak mungkin jatuh cinta pada Hye-mi karena ia gay. Tiba-tiba perut Kae-in terasa sakit.
Jin-ho dan Sang-joon kembali ke pesta. Sang-joon menyuruh Jin-ho melayani tamu dan ia akan mencari Kae-in di luar. Jin-ho mencari kae-in di keramain pesta tapi tak menemukannya. Ia malah bertemu dengan Chang-ryul. Chang-ryul memarahi Jin-ho karena membiarkan Kae-in menerima perlakuan seperti tadi. Jin-ho menyindir apa Chang-ryul sekarang mulai perhatian pada Kae-in. Chang-ryul kaget. “Saya dengar kamu mengadakan pernikan dengan temannya. Sepertinya itu bukan gosip” kata Jin-ho menyindir lagi sebelum pergi meninggalkan Chang-ryul. Saat mencari Kae-in lagi Jin-ho berpapasan dengan In-hae. In-hae menyindir bahwa bukan hanya dia yang merasa kalau Jin-ho adalah laki-laki sesungguhnya. Jin-ho hanya bisa diam, In-hae kemudian pergi karena ia dipanggil Do-bin.
Jin-ho kesal karena tidak menemukan Kae-in. Tiba-tiba Kae-in telepon. Jin-ho langsung menanyakan keberadaan Kae-in sekarang. Kae-in menjelaskan keberadaannya dan Jin-ho pergi menuju tempat itu yang ternyata adalah Toilet perempuan. Jin-ho menunggu diluar dan menyuruh Kae-in segera keluar. “Itu, harus ad sebuah barang baru bisa keluar. Yang memakai sayap itu” kata Kae-in. “Itu? sayap? Sayap apa? Sayap kenapa?” kata Jin-ho tak mengerti. “Itu. hari ini harusnya hari iru” kata kae-in tidak enak menjelaskan. “Hari itu? hari ini? Hari apakah?” kata Jin-ho masih tak mengerti.
Setelah mengerti Jin-ho segera lari keminimarket. “Dia sebenarnya mau menyiksa aku jadi apa?” kata Jin-ho kesal. Setelah sampai mini market Jin-ho langsung menuju tempat bagian pembalut wanita tapi di sana ada beberapa anak abg yang terpesona dengan ketampanan Jin-ho. Jin-ho jadi malu, ia lalu pura-pura mengambil pisau cukur sebelum akhirnya diam-diam mengambil pembalut itu. Para anak abg melihatanya, mereka jadi tambah terpesona, mereka berkata betapa beruntung pacar laki-laki itu karena ia rela malu membelikan pembalut untuknya. Saat jin-ho sudah keluar dari minimarket mereka masih menyoraki Jin-ho hingga membuatanya tidak enak.
Di luar Hye-mi terus menangis karena dimarahi Jin-ho hingga maskaranya luntur. Tae-hoon dan Sang-joon berusaha menenangkan Hye-mi tapi tak berhasil. Jin-ho masih kesal ia bertanya sebenarnya Hye-mi datang kesana untuk apa. Hye-mi tidak menjawab ia malah balik tanya Jin-ho dan Kae-in ad hubungan apa sebenarnya hingga Kae-in bisa diajak ke pesta itu. Jin-ho menjelaskaan ia tak ad hubungan apa-apa dengan Kae-in, ia minta Hye-mi pergi daru sana saja. Hye-mi tak percaya dengan penjelasaan itu. Jin-ho menyuruh Tae-hoon mengantar Hye-mi pulang. Hye-mi menolak sehingga harus di gendong paksa masuk mobil agar mau pergi.
Jin-ho kembali ke pesta. Ia diam-diam masuk toilet untuk memberikan pesanan Kae-in. “Park Kae-in” kata Jin-ho mencari Kae-in di toilet. “Jin-ho, saya ada di sini” kata Kae-in senang. “Ini gimana berikannya, dari atas atau bawah”. “Bawah” kata Kae-in menjulurkan tanganya dari bawah. Jin-ho memberikan bungkusannya. “Kenapa kamu begitu lama. Kaki saya sudah pegal dan tak tahan lagi” kata Kae-in masih ngedumel. “Begitu menderita kah?”. “Tapi pisau cukur ini untuk apa?” kata Kae-in heran. “Buat cukur bulu kaki kamu”. Kae-in tetap heran “Tapi terimakasih banyak”. “Saya keluar” kata Jin-ho. “Saya juga segera keluar” kata kae-in. “Terserah mau keluar cepat atau lama” kata Jin-ho kesal.
Kae-in keluar dari toilet. Jin-ho memarahi Kae-in, kenapa ia samapai tidak siap kalau tahu sudah harinya. Kae-in mengalihkan pembicaraan agar tidak terus dimarahi. “Jin-ho kamu ada kantong kah? Bantu saya simpa ini di dalam kantong kamu!” kata Kae-in meminta Jin-ho menyimpan sisa pembalut yang dibeli tadi. “Kamu sedang lakukan apa? Kamu mau saya simpan satu-satu ini dalam kantung saya!” kata Jin-ho kesal. “Itu, karena saya tidak ada kantung makanya minta kamu”. “Kamu mau saya bagaimana?” kata Jin-ho kesal. “Simpan beberapa gak papa kok”. “Kamu sudah gila ya. Saya bantu kamu buang saja” kata Jin-ho kesal. “Kenapa di buang?”. “Saya pergi buangkan saja” kata Jin-ho sambil menarik bungkusan. “Jangan buang” kata Kae-in mencegah tapi Jin-ho keburu pergi. “Kamu harus buang yang baik” kata Kae-in akhirnya.
Kae-in sedang menunggu Jin-ho kembali saat Chang-ryul datang. Chang-ryul bertanya kenapa kae-in bisa datang dengan Jin-ho. Ia berpikir Kae-in hanya ingin membuatnya kesal karena ia tahu Chang-ryul dan Jin-ho bermusuhan. “Jangan geer” kata Kae-in. “Kamu, bagiku sudah bukan orang yang penting lagi” Lanjut Kae-in. Chang-ryul tak percaya Kae-in berkata seperti itu, ia merasa sangat memahami Kae-in dan ia merasa Kae-in tak mungkin melakukan itu. Ia minta Kae-in tidak usah pura-pura mengikuti apa yang ia lakukan karena ia tahu Kae-in tidak akan mudah melupakan orang yang ia cintai. Jin-ho telah kembali dan mendengar perkataan Chang-ryul tadi. Ia berhenti ingin melihat reaksi Kae-in bagaimana. “Tanpa kamu, saya tetap akan hidup baik-baik. Jangan mengira saya masih menderita karena kelakuanmu pada saya” kata Kae-in. Chang-ryul masih tak percaya dan menyakinkan Kae-in dengan memegang bahu Kae-in dan berkata Kae-in pasti tidak bisa melupakannya jadi tidak usah pura-pura. “Han Chang-ryul” teriak Jin-ho. Kae-in dan Chang-ryul menoleh. Jin-ho mendekat dan menjauhkan Chang-ryul dari Kae-in. “Saya beritahu kamu, jangan melihat dia begitu lagi” kata Jin-ho memepringatkan. “Kamu jangan ikut campur. Ini adalah urusan kita berdua”. “Tidak perlu, kamu dan wanita ini tdak ada hubungan apa-apa. Benar kan Kae-in?”. Kae-in hanya diam, Jin-ho lalu menarik tangan Kae-in pergi. Chang-ryul kesal melihatnya tpi tak dapat mencegahnya.
Di luar Kae-in berterima kasih karen Jin-ho mau menyamar sebagai teman lelakinya. Ia berkata ia lebih seanng seperti tadi dari pada menampar Chang-ryul. Mereka lalu sadar melihat kedua tangan mereka yang terus bergandengan. Jin-ho langsung melepasakan tangannya. Keadaan jadi canggung. Jin-ho lalu bilang sebagai teman semua bisa ia lakukan. Kae-in tersenyum. Mereka lalu masuk ke acara pesta lagi.
Di pesta ketua Choi memberi sambutan. Ia berkata setiap orang membangun rumah. Rumah merupakan tempat mereka makan, tidur, melahirkan anak, mengasuh anak dan membangun mimpi. Ia ingin museum yang akan dibuat nanti menjadi tempat yang dapat menciptakan mimpi itu. semua orang senang memberi tepuk tangan atas sambutan itu. Tapi Kae-in malah terlihat sedih. Jin-ho bertnaya ada apa. Kae-in berkata kalau ucapan Do-bin tadi seperti ucapan ayahnya yang ditulis dalam sekripsinya. Yakni istri dan anak perempuan saya bisa memiliki dunia kecil impiannya. Kae-in merasa bersalah kepada ayahnya karena ia bukanlah anak yang yang dapat dibanggakan di mata ayahnya. Jin-ho jadi merasa kasihan melihat Kae-in seperti itu.
Di rumah Jin-ho memperhatikan Sang Go-jae dan teringat perkataan Do-bin dan Kae-in tadi “dunia kecil impian” gumam Jin-ho sendiri. Tiba-tiba ia melihat Kae-in keluar toilet dengan memgang perutnya. Kae-in sibuk menceri obat penahan sakit. “Kau sedang apa? Tidak tidur kah?” tanya Jin-ho. “Saya tidak dapat menemukan obat penahan sakit” kata Kae-in. “Kamu mencari obat penahan sakit buat apa? Kamu sakit kepala?”. “Tidak, itu sedang sakit haid”. “Kenapa waktu pulang tidak mampir ke toko obat”. “Waktu pulang pasti sudah tutup, lagi pula aku kira masih ada di rumah”. “Sangat sakitkah?” kata Jin-ho sambil mendekati Kae-in. “Mau pergi kerumah sakit?”. “Mana ada orang kerumah sakit hanya karena sakit haid” kata Kae-in. “Kalau begitu kenapa kau seperti itu”. “Sekarang hanya bisa bertahan saja” kata Kae-in sambil bangkit menuju kamarnya. “Mau saya bantu apakah?”. “Tidak usah, tidak apa-apa” kata Kae-in.
Jin-ho masih khawatir ia lalu mencari tahu di internet bagaimana cara menghilngakan sakit haid. Setelah tahu Jin-ho membuat minuman untuk Kae-in. Jin-ho membawa minuman itu kekamar Kae-in. Kae-in bertanya itu minuman apa. Kae-in terlihat kesakitan. Jin-ho khawatir. “Apa begitu sakitkah? Hingga kamu tak dapat bicara seperti itu”. “Saya memang kesakitan”. “Ini teh liang, bisa melemaskan tubuh. Kau coba minum saja” kata Jin-ho. Kae-in akhirnya meminumnya, ia berkata kalau ia senag karena masih ad teman yang menemaninya sakit haid. Jin-ho menyuruh Kae-in tidur saja.
Beberapa waktu setelahnya Jin-ho kebali ke kamar Kae-in. Ia heran lampu kamar kae-in masih menyala. “Belum tidurkah?” tanya Jin-ho sambil membuka pintu kamar Kae-in. Tapi Kae-in masih terlihat kesakitan. “Minum teh pun tak ada gunanya”. “Besok pagi pergi ke toko obat sudah bisa kok. Kamu pergi tidur saja. Jangan karena saya besok kamu telat ke kantornya”. “Besok hari minggu”. “Benarkah” kata Kae-in sambil menahan sakit. Jin-ho semakin khawatir, akhirnya ia putuskan untuk pergi ke rumahnya. “Benaran, kenapa dia setiap hari selalu bikin ulah” kata Jin-ho sedikit kesal.
Di rumah Jin-ho, ibu Jin-ho sedang menenangkan Hye-mi yang terus menangis sejak pulang pesta tadi. “Kakak Jin-ho kenapa bisa membawaa wanita lain pergi kepesta” kata Hye-mi sedih. “Mungkin benar hanya teman biasa. Kalau ada teman yang ia sukai pasti sudah bawa kesini ketemu saya” kata Ibu Jin-ho. Lalu Jin-ho datang. “Lihat kan Jin-ho sudah datang. Ia pasti datang untuk menghiburmu” kata ibu Jin-ho. Hye-mi langsung senang dan mendekati Jin-ho. Ibu Jin-ho memarahi Jin-ho karena membawa wanita lain ke pesta. Jin-ho beralsan karena kerja makanya membawa orang lain. Hye-mi senang mendengarnya. Jin-ho lalu menanyakan ibunya memiliki obat penahan sakit atau tidak karena ia sedikit sakit kepala. Hye-mi berkata Jin-ho tak perlu sakit karena memikirkannya, ia tidak akn menangis lagi karena kejadian tadi.
Jin-ho segera kembali ke rumah Kae-in dengan membawa obat penahan sakit. Ia masuk kekamar Kae-in dan melihat Kae-in tidur di lantai. “Kamu kenapa tidur disitu?” . “Saya melihat di sini lebih nyaman” kata Kae-in. “Bangun, minum obat ini”. “Obat? Waktu begini mana ada yang jual obat”. “Saya pulang kerumah”. “Rumah? Kamu masih ada rumah? Lalu kenapa masih tinggal disini?”. “Karena rumah saya jauh dari kantor” kata Jin-ho berbohong. “Seberapa jauh? Kalau begitu kamu kembali pulang ke rumah karena saya kah?” kata kae-in terharu. “Sudahlah, cepat minum obatnya”. Belum selesai bicara Kae-in sudah memeluknya. “Saya mencintaimu, saya mencitaimu, teman” kata Kae-in. Jin-ho kaget mendengarnya ia segera melepaskan pelukkan Kae-in. “Kamu cepat minum obatnya dan tidur lagi” kata Jin-ho dingin dan segera mau pergi dari sana. “Tunggu” kata Kae-in mencegah sambil menarik tangan Jin-ho. “itu.. teman, bisa bantu saya satu hal lagi tidak?” kata Kae-in memelas.
Ternyata Kae-in meminta jin-ho mengelus-elus perutnya. “Saya sedang melakukan apakah?” kata Jin-ho kesal sambil mengelus-elus perut kae-in. Kae-in berkata dulu jika ia sakit seperti itu In-hae yang mengelus-elus perusnya. “Tangan ibu adalah obat tangan, perut bayiku adalah perut kecil” kata Kae-in mengingat kenangan bersama In-hae. Kae-in jadi sedih dan berkata seharusnya ia membenci In-hae karena kejadian itu, tapi ia tidak bisa. “Tangan ayah adalah tangan obat, perut bayi saya adalah perut kecil” Kata Jin-ho mengallihkan pembicaraan. Kae-in tersenyum sedih mendengarnya dan berkata terima kasih karena ayahnya sekalipun pun tak pernah melakukan itu padanya. Jin-ho jadi tak enak. “Jin-ho kamu seperti teman dan ayah bagiku” kata Kae-in lagi ambil menghapus air matanya. Jin-ho memegang bahu Kae-in dan menepuk-nepuknya hingga Kae-in tidur.
Pagi harinya Young-soon datang ke rumah Kae-in dengan anaknya. Ia heran kenapa rumah masih sepi, ia lalu mencoba kekamar Kae-in untuk membangunkannya. Tapi begitu membuka kamar Kae-in ia kaget dan refleks menutup mata anaknya. Ternyata Jin-ho ketiduran di kamar Kae-in. Anak Young-soon bertanya “Mama, bibi Kae-in sudah menikahkah?”. “Bukan begitu” keta Young-soon. Young-soon mencoba membagunkan Kae-in. Tapi malah Jin-ho yang terbangun. Jin-ho kaget melihat ia tidur di kamar Kae-in dan melihat Young-soon disana. Young-soon jadi tidak enak karena membangunkannya.
Jin-ho pergi kekamar mandi, anak Young-soon mengikuti. Ia bertanya “Paman, anda dengan bibi Kae-in kapan menikahnya?”. “Bukan seperti yang kamu pikirikan”. “Kalau begitu kenapa paman tidur dengan bibi Kae-in”. Jin-ho jadi kesal ia menyuruh anak Young-soon pergi menemui ibunya saja.
Di tempat lain Young-soon menasehati Kaein. Ia berkata walaupun Jin-ho gay Kae-in tak seharusnya tidur dengannya. Kae-in beralasan Jin-ho telah baik membantunya mengelus perutnya yang sakit haid tadi malam. Young-soon lalu tanya saat tidur dengan Jin-ho ada kejadian apa. Kae-in berkata tidur dengan Jin-ho sangat enak seperti ia tidur dengan ayahnya. Young-soon berkata kalau ia cemburu mendengranya. Kae-in mengingatkan agar Young-soon jangan berpikiran macam-macam. Ia lalu tanya apa yang membuat Young-soon datang kerumahnya. “Jin-ho” teriak Young-soon ingat sesuatu.
Young-soon memohon-mohon agar Jin-ho mau menjadi modelnya. Jin-ho minta maaf karena benar-benar tidak bisa membantu. Young-soon lalu jatuh ke lantai ia perpura-pura sedih dan berkata kalau ia sebenarnya menjadi tulang punggung keluarganya karena uang suaminya tak cukup. Ia harus menanggung biaya hidup ibu mertua, ibu, nenek dan seorang adik lelakinya. Young-soon berkata kalau Jin-ho tak percaya bisa tanya Kae-in. Kae-in yang dari tadi hanya diam, akhirnya ikut berbohong juga. Anak Young-soon pun ikut-ikutan. “Ibu kenapa kau sedih”. “Ibu tidak akan sedih jika paman ini membantu ibu sedikit”. “Aku benci paman!” kata anak Young-soon. Jin-ho tak percaya jadi seperti ini, ia akhirnya setuju membantu.
Mereka lalu pergi ke sebuah danau. Karena konsepnya keluarga bahagia yang sedang libur. Young-soon meminta Jin-ho dan Kae-in berlaku mesra dan menjadi orang tua anaknya. Tapi Jin-ho masih terlihat kaku. Young-soon lalu menyuruh Jin-ho membayangkan Kae-in seperti Sang-joo saja. Kae-in mengangguk-angguk, Tentu saja Jin-ho masih tak bisa. Mereka lalu pindah lokasi ke studio melakukan pemotretan dengan beberapa furniture rancangan Kae-in. Young-soon meminta Jin-ho dan anaknya mencium pipi Kae-in. Jin-ho kaget dan tak mau, Kae-in berkata ia akan mentraktir Jin-ho jika furniturenya nanti laku. Jin-ho akhirnya mau tak mau melakukannya. Adegan berganti kini Kae-in dan anak Young-soon yang harus mencium Jin-ho. Jin-ho tak mau, tapi Kae-in memaksa. Jin-ho kaget saat Kae-in menciumnya tanpa ragu. Keadaan jadi sungkan Kae-in meminta pemotretan selesai saja.
Pulang pemotretan Kae-in dan Jin-ho terlihat lelah. Tapi Kae-in berkata mereka tak perlu cemas makanan lagi hari ini karena Young-soon membekali mereka makanan. Kae-in berkata selama sepuluh tahun ia berteman dengan Young-soon baru kali ini Young-soon memberinya makanan begitu banyak. Kae-in membuka bungkusan makanan, dan terlihat senang karena makanannya enak-enak. Ia lalu mau menyuapi Jin-ho. Tapi Jin-ho tak mau, ia tanya Kae-in sudah cuci tangan belum. Kae-in berkata kalau tangannya masih bersih, akhirnya Jin-ho mau disuapin Kae-in. “Enak kan?”. “Iya”. Jin-ho lalu tanya apa kaein tidak mencuci baju hari ini. Kae-in berkata ia sudah 2 hari tidak mencuci, dan menyuruh Jin-ho pergi mencuci saja. Jin-ho pergi. Tiba-tiba Kae-in bertanya kenapa Jin-ho bisa tiap hari mencuci apa karena minatnya tidak sama seperti orang kebanyakan. Jin-ho terlihat kesal. Kae-in jadi takut, ia lalu mengalihkan perhatian dengan berkata kalau ia punya alat pijit yang ditinggalkan In-hae. Kae-in berkata ia akan meminjamkan alat itu sebagai rasa terima kasih karena hari ini membantunya.
Chang-ryul memohon In-hae agar mau bertemu ibunya. In-hae menolak karena hubungan mereka telah berakhir. Chang-ryul tetap memaksa. In-hae pun tetap pada pendiriannya, ia berkata agar Chang-ryul memberitahu yang sebenarnya pada ibunya. Chang-ryul berkata ibunya yang ini sangat baik padanya maka i memohon In-hae untuk bertemu dengannya walaupun ia tahu mereka telah berakhir. In-hae berkata Chang-ryul sangat aneh. Ia sangat menyayangi ibunya, tidak hanya satu tapi semua ibunya yang ada 7 itu. “Kamu jangan berkata begitu tentang mereka. Bagi saya mereka sangat berarti dan saya sangat menghargai mereka” kata Chang-ryul (anak baik nih..). In-hae tetap tak mau, ia pergi meninggalkan Chang-ryul. Chang-ryul berusaha mencegah tapi tak bisa, ia kemudian menelepon ibunya dan bilang kalau In-hae hari itu sakit sehingga tidak bisa ketemu. Ibu Chang-ryul memekasa karena ia kan segera pergi keluar negeri. Chang-ryul kaget sekaligus kenapa mau pergi masih merepotkan saja. Ia akhirnya berjanjia lain kali sebelum hari keberangkatannya ia pasti akan membawa In-hae menemuinya.
Jin-ho sedang menikmati alat pijit Kae-in. Ia bergumam kenapa dirinya sampai datang ke rumah itu hingga mengalami hal-hal aneh. “Park Kae-in adalah wanita berkarakter yang tidak seperti wanita lainnya” gumam Jin-ho sambil tersenyum. Tiba-tiba Kae-in masuk. “Bisa gak ketuk pintu dulu?” kata Jin-ho kesal. Kae-in datang membawa minum sebagai bentuk ketulusan hatinya. Ia juga memijit kaki Jin-ho. Tapi Jin-ho menolaknya ia menyuruh Kae-in pergi keluar saja. Kae-in keluar, ia memberitahu agar alat pijinya nanti di bersihkan karena ia mau memakainya juga. “Dia sudah berapa kali mengatakannya” kata Jin-ho kesal. Ia lalu melihat minuman dari Kae-in dan meminumnya. Setelah itu ia tersenyum karena ternyata minumannya enak.
Kae-in sedang menyiapkan makanan dari Young-soon tadi untuk makan malam. “Jin-ho cepat kemari. Supnya sudah dingin” teriak Kae-in memanggil Jin-ho makan malam. Jin-ho datang. Kae-in terlihat senang karena makan malam kali ini makanannya enak-enak. Jin-ho mengambil nasi Kae-in. Kae-in kaget, ia bertanya buat apa bukankah ia sudah menampilakan yang terbaik di pesta pada Chang-ryul. Jin-ho berkata Chang-ryul begitu karena cemburu padanya bukan karena sikap Kae-in. Kae-in lalu berkata kalau ia bisa bersikap baik pada ketua Choi. Jin-ho mengingatkan kalau Kae-in malam itu juga mabuk didepan ketua Choi. Ia juga berkata agar bisa menarik laki-laki Kae-in harus memiliki kesabaran. Kae-in tak tahan ia minta evaluasi latihannya dilakukan setelah ia makan saja. Jin-ho lalu mengurangi nasi Kae-in dan berkata kalau makanan dari Young-soon Kae-in tak boleh memakannya. Kae-in kaget bagaimana bisa ia hanya makan nasi yang sedikit sekali. Jin-ho mengingatakan Kae-in harus mengatakan dengan halus bhawa ia sebenarnya orang yang tidak banyak makan. Kae-in akhirnya menuruti an berkata sambil tersenyum kalau ia sebenarnya orang yang tidak banyak makan. Jin-ho memperingatkan lagi kalau Kae-in harus makan secara sopan. Tapi kali Kae-in tak peduli, ia makan makananya dengan lahap.
Jin-ho sedang membuat seketsa Sang Go-jae lagi. Kae-in datang membawa gantungan baju untuknya. Jin-ho buru-buru menutup buku gambarnya dan bertanya dengan dingin Kae-in sedang melakukan apa. Kae-in berkata meski dalam keadaan lapar ia masih sempat membuat hadiah berupa gantungan baju untuk Jin-ho karena membantunya malam-malam mencari obat kemarin. “Cantikkan!” kata Kae-in menunjukan gantungan yang ia buat. “Sekali lihat saja sudah tahu tidak ada gunanya” kata Jin-ho dingin. “Kau seharusnya bilang cantik sekali Park Kae-in. Bukan hal seperti tadi. Aku kan sudah sudah membuatnya sambil kelaparan” kata Kae-in memelas. “Mau makan mie kah?” kata Jin-ho.
Mereka lalu pergi makan mie di sebuah tempat hiburan. Kae-in sangat senang, ia tanya apa bisa makan semuanya. Jin-ho tidak melarangnya, tapi ia terus melihat Kae-in yang semangat sekali makannya. Kae-in jadi tidak enak, ia lalu janji hanya akan makan seperti itu di depan Jin-ho saja. Tapi ia juga heran kenapa Jin-ho mengajaknya makan. Jin-ho berkata itu sebagai hadiah karena Kae-in membuatkannya lemari dalam keadaan lapar. Setelah makan mie mereka lalu makan es krim sambil jalan. Kae-in selalu jalan dekat dengan Jin-ho. Jin-ho kesal, Kae-in berjanji lagi ia hanya kan melakukan itu di dedpan Jin-ho bukan laki-laki lain. Kae-in lalu tanya apa Jin-ho sering makan di sana. Jin-ho berkata kalau ia sedang lembur dan tiba-tiba lapar, ia biasanya datang kesana. Kae-in tanya lagi kenapa harus di san bkankah banyak tempat yang jual mie di luar sana. Jin-ho bercerita jika makan mie disana ia merasa sedang bertamasya karena tempat itu adalah tempat istirahat jika ingin bertamasya kel uar kota. Kae-in lalu tanya apa Jin-ho seringa pergi bertamasya. Jin-ho berkata tidak ada. Kae-in tak percaya, ia tanya tempat mana yang Jin-ho sering kunjungi bersama ayahnya. Jin-ho bilang ke perpustakaan. Kae-in makin tak percaya mana ada anak kecil sudah senang belajar apalagi setelah ayahnya tidak ada. Jin-ho berkata karena ingin merebut kembali milliknya ia keras pada dirinya agas bisa menjadi hebat dan pintar. Kae-in jadi tidak enak, ia tanya Jin-ho kehilangan apa samapai berbuat seperti itu. Jin-ho memandang Kae-in, lalu mengajaknya kembali kemobil tanap menjawab pertanyaan Kae-in. Kae-in jadi penasan, ia berakta jika Jin-ho sudah menemukan barang miliknya kembali ia minta diajak melihatnya. Jin-ho gak mau, ia berkata masalah itu tidak ada hubungannya dengan Kae-in. Kae-in terus merayu ia berkata akan melakukan apa yang disuruh Jin-ho jika diajak melihatnya. Jin-ho tetap tak mau, ia mengatakan itu sambil berjalan menuju mobil. Kae-in mengejarnya dan berkata agar Jin-ho memikirkannya lagi. Dalam perjalanan pulang Kae-in dan Jin-ho main sambung kata lalu Kae-in terus memandangi Jin-ho dan tersenyum kemudian.
Laporan cuaca Park Kae-in. Karena seorang yang mengikuti angin menemui teman yang gay. Tapi hatinya sekarang merasa nyaman tak tahu dari mana perasaan ini berasal.
Keesokan harinya. Ayah Chang-ryul menemui ketua Choi (Ayah Do-bin). Awalnya ia mumuji ketua Choi (Do-bin) tapi kemudian ia berkata kalau ia takut ketua Choi membuang waktu saja dengan melakukan syaembara desain museum nanti. Ia berkata takut tidak ada desain yang layak. Ia berkata akan lebih baik jika mempersiapkan orang untuk desain ini daripada membuat orang bersaing mendesainnya. Ayah Do-bin jadi terpangaruh, ia berkata akn mempertimbangkan masukan dari ayah Chang-ryul tadi. Ayah Chang-ryul jadi senang mendengarnya.
In-hae kaget melihat Kae-in datang ke kantor Maiseu dan tanya apa yang dilakukan Kae-in disana. Kae-in tak menjawab dan hanya menatap In-hae tajam. Kemudian Do-bin datang, ia senang Kae-in datang tepat waktu. Do-bin lalu berkata pada In-hae bahwa ia telah menemukan orang yang akanmerancang tempat istirahat remaja dan orang itu adalah Park Kae-in. In-hae terlihat tidak senang, Do-bin lalu mengajak kae-in ke melihat-lihat gedung Meiseu.
Dalam perjalan melihat-lihat gedung Maiseu. Do-bin mejelaskan ia ingin emmbuat tempat istirahat khusus anak-anak, jika orang tua mereka melihat-lihat koleksi gedung itu. Kae-in berkata kalau begitu sebaiknya ia berdiskusi dulu dengan arsitek gedung itu adar furniturenya sesuai. Do-bin berkata ia ingin semua Kae-in yang memutuskan. Kae-in kaget. Do-bin berkata Kae-in adalah putri Prof. Park, ia yakin Kae-in pasti ada bakat dari ayahnya. Kae-in tambah kaget dan jadi ketakutan, ia merasa mendapat pekerjaan ini hanya karena nama ayahnya. Do-bin berkata agar Kae-in jangan salah paham, ia memilih Kae-in karena tertarik melihat hasil karya Kae-in dulu sat ke Sang Go-jae. Kae-in berkata mendesain ruangan berbeda dengan mendesain furniture. Do-bin berkata apa Kae-in tak mau mencoba mencari tahu sampai mana batas kemampuannya. Kae-in kaget mendengarnya. Saat mengantar Kae-in keluar, Kae-in berkata pada Do-bin bahwa ia akan berusaha sebaik-baiknya. Do-bin yang sekarang tidak enak, ia tidak enak karena nantinya Kae-in akan sering bertemu In-hae di sana. Ia berceriata kalau ia datang ke pesta pernikahan In-hae dan melihat Kae-in ada di sana. Kae-in berkata ia tidak apa-apa, selain itu ia tidak ingin kehilangan kesempatan menguji kemampun dirinya. Ia malah berterima kadih kepada Do-bin karena memberinya kesempatan. Do-bin lalu berkata kalau walaupun Kae-in dan Jin-ho hanya teman tapi ia merasa Kae-in dan Jin-ho ada seseuatu yang serasi. Kae-in hanya tersenyum mendengarnya.
Di kantor Jin-ho. Jin-ho menyuruh Tae-hoon mencari skipsi Prof. Park tahun 89. Tae-hoon setuju, tapi tiba-tiba Sang-joon berteriak. Jin-ho bertanya ada apa. Sang-joon menunjukan e-mail yang baru ia dapt dari perusahaan Maiseu. Perusahaan Maiseu mengirim standar baru perusahaan yang berhak mengikuti tender gedung museum kali ini. Sang-joon sangat terkejut ia berkata perusahaan kecil seperti milik Jin-ho tak mungkin bisa lolos.
Di gedung Maiseu, Do-bin menemui ayahnya. Ia bertanya kenapa ayahnya tidak berunding dahulu denganya, dan mengapa ayahnya memutuskan hal seperti itu. Ayah Do-bin kesal, ia berkata apakah jika ia berunding dengann Do-bin dahulu Do-bin akan setuju. “Ayah” kata Do-bin. Ayah Do-bin berkata anaknya sudah memikirkan hal ini terlalu seius. Do-bin lalu bertanya kenapa pesertanya dibatasi. Ayah Do-bin berkata kalau ia tidak ingin ada pesertay nga dapat memalukan museumnya. Do-bin mengingatkan ayahnya bahwa ia telah menyerahkan semua urusan prekyek museum yang baru kepadanya. Ayahnya beralsan selama ini Do-bin tak berniat dengan usahanya. Do-bin berkata apa ayahnya ingin ia melakukan yang ia suaki saja. Ayah Do-bin lalu berkata ia kan senang jika Do-bin melakukan hal yang membanggakan. Do-bin lalu memohon agar ayahnya menyerahkan proyek museum baru ini kepadanya saja. Ia berkata persaingan antara perusahaan besar, tidak akan menimbulkan sesuatu yang baru. Ayahnya masih berpendapat bahwa perusahaan besar lebih siap uantuk membuat rancangan museum kali ini. Do-bin berakta kalau begini terus, ia cuma bisa meninggalkan semua yang ada sekarang. Ayah Do-bin kaget mendengar ancaman itu.
Chang-ryul menemui ayahnya, dan bertanya apakah ayahnya tak percaya dengan kemampuannya hingga menutup peluang Jin-ho. Padahal ia sudah berjanji akan memenangkan tander itu tanpa lewat jalan belakang. Ayah Chang-ryul mengingatkan bahwa ia hanya ingin mencabut rumbut sampai akarnya. Chang-ryul kesal itu hanay akan mempermalukannya didepan Jin-ho karena menggunakan jalan belakang. Ayahnya tak kalah kesal ia berkata bahwa untuk memenangkan sesuatu itu harus menggunakan jalan apa pun. “Kamu seharausnya mengucapkan terimakasih karena saya sudah menyiapkan jalan yang baik untukmu sehingga kamu hanay perlu kerja yang baik, dengar kan?” kata ayah Chang-ryul. Chang-ryul masih kesal tapi ia hanya bisa diam menerimanya. Lalu tiba-tiba sekretaris ayahnya berakta kalau In-hae sudah datang. Chang-ryul kaget mendengarnya.
Saat In-hae masuk keruang kerja ayah Chang-ryul, ia terlihat kaget melihat Chang-ryul ada di sana juga. Ayah Chang-ryul menyilahkan In-hae masuk. Ia berkata terimakasih karena In-hae memberikan udangan perusahaannya kepadanya. Ia juga berkata walaupun pernikahan kemarin tidak berjalan lancar, tapi ia masih menganggap In-hae sebagai keluarga. Chang-ryul terlihat ketakutan, dan In-hae terlihat tidak suka mendengarnya. Ayanh Chang-ryul lalu minta In-hae dan Chang-ryul menetapkan hari pernikahan mereka kembali. In-hae langsung memotong pembicaraan ayah Chang-ryul dan berkata bahwa hubungannya dengan Chang-ryul telah berakhir. Ayah Chang-ryul kesal, Chang-ryul sendiri jadi ketakutan setelahnya. Ia lalu menarik tangan In-hae dan meminta bicara diluar saja. In-hae menolak. Ayah Chang-ryul marah dan meminta mereka duduk di sana saja. Mereka duduk, ayah Chang-ryul menanyakan maksud berpisah yang dikatakan In-hae tadi. In-hae berkata bahwa Chang-ryul tidak mengurus baik-baik hubungan mereka selama ini. Ayah Chang-ryul kesal ia tak menyangkan In-hae berani menjelekkan anaknya didepannya. Ia lalu mengungkit seharusnya In-hae merasa bersalah karena menjadi menantu yang tak punya apa-apa. In-hae kesal mendengarnya. Ayah Chang-ryul berkata bahwa anaknya sudah meninggalkan banyak wanita demi dirinya, tapi In-hae menolak menjadi istrinya lagi. Ia lalu bertanya apa In-hae tidak tahu bahwa ia baru saja merestui mereka setelah selama ini tidak merestui. “Saya tahu” kata In-hae. Ayah Chang-ryul lalu bertanya kenapa In-hae tahu masih dengan santai mengatakan semuanya tadi. “Dua orang berpisah. Chang-ryul yang begitu baik jatih cinta pada saya adalah sebuah keberuntungan bagi saya. Waktu itu saya juga berpikir seperti itu, tapi setelah itu saya baru tahu. Orang yang begitu baik ternyata tidak baik. Sampai di gereja kemarin saya baru mengerti. Saya hanya ingin orang yang emmepercayai saya dan menghormati saya. Tapi orang itu tak sesuai” kata In-hae sambil melirik Chang-ryul.
Setelah selesai bertemu ayah Chang-ryul. Chang-ryul langsung menemui In-hae dengan perasaan kesal. “Kamu ini benaran sangat hebat. Tidak sangka biarkan kamu tinggalkan yang begitu mudah. Saya benran begitu burukkah?”. In-hae dengan tenang tapi menahan kesal berkata apa Chang-ryul mau ia menjelaskan lagi setelah apa yang ia sudah katakan didepan ayahnya. Chang-ryul semakin kesal, ia lalu menarik In-hae pergi. In-hae memberontak, tapi Chang-ryul tetap tak melepasakannya.
Chang-ryul mengajak In-hae pergi bicara di pinggir sungai. Chnag-ryul bertanya kenapa In-hae bisa bertindak begitu kepadanya. In-hae tak menjawab. Chang-ryul lalu bercerita awal rasa sukanya pada In-hae. Saat itu ia sadar perbuatannya pada Kae-in tapi tetap memillih In-hae untuk menjadi istrinya. Chang-ryul lalu bertanya apa saat itu In-hae mendekatinya karena kekayaannya. In-hae berkata bukan karena itu, tapi karena Kae-in selalu menceritakaan kehebatan pacarnya padanya. Ia lalu menjadi penasaran dan mulai mendekati Chang-ryul, tapi ternyata Chang-ryul yang asli berbeda dengan sosok yang selama ini di ceritakan Kae-in. In-hae jadi sadar bahwa ia sebenarnya menyukai sosok dalam khayalan Kae-in bukan sosok Chang-ryul sebenarnya.
Jin-ho dan Sang-joon sedang pusing memikirkan nasib perusaan mereka jika gagal mengikuti tander proyek kali ini. Tiba-tiba Tae-hoon datang. Ia mendapat kabar dari ayahnya bahwa ketua Choi (Ayah Do-bin) mengambil keputusan pembatasan peserta tander setelah dipengaruhi oleh ketua Han (Ayah Chang-ryul). Jin-ho jadi kesal mendengarnya.
Ia lalu pergi ke gedung Maiseu untuk menemui Do-bin. Tapi In-hae memberitahu kalau hari itu sepertinya Do-bin tidak akan datang. In-hae lalu mengucapkan keprihatinannnya. Ia juga baru tahu keputusan itu setelah melihat di Internet dan ia juga tidak bisa membantu Jin-ho karena sikapnya selama ini yang mungkin menurut ketua Choi terlalu bandel. Jin-ho terlihat kecewa. In-hae mencoba mengajak Jin-ho pergi minum bersama. Tapi Jin-ho menolaknya dengan halus. In-hae lalu meminta Jin-ho mengantarnya pulang, tapi lagi-lagi Jin-ho menolaknya, ia berkata sedang sibuk karena permasalahan ini sehingga datang kesana (Bukan untuk menemui In-hae maksudnya gitu lho..). Jin-ho lalu pamit, In-hae terkejut Jin-ho menolaknya begitu.
Jin-ho lalu pergi minum di warung soju sendirian. Ia teringat perkataan Tae-hoon yang mengatakan semua kejadian hari ini karena masukan dari ketua Han. Ia juga teringat kenangan masa kecilnya saat di usir dari rumahnya yang di ambil ketua Han. Kae sedang membuat rancangan furniture dirumah, ia jadi khawatir karena Jin-ho sudah malam belum pulang juga. Jin-ho minum hingga mabuk hingga ia susah untuk berjalan pulang.
In-hae seudah berkemas untuk meninggalkan apartement Chang-ryul. tapi tiba-tiba Chang-ryul memanggilnya. Chang-ryul berkata ia yang akan meninggalkan apartemnt itu dan In-hae boleh memilikinya. In-hae tak percaya mendenagr itu. Chang-ryul berkata ia memberikan apartement itu sebagai rasa maaf karena ia tidak seperti yang di inginkan In-hae selama ini. Chang-ryul lalu mengulurkan angannya dan In-hae menerimanya. Chang-ryul meminta agar In-hae kelak tidak menyatukan khayalan dengan kenyataan lagi. In-hae mengangguk terharu dengan sikap Chang-ryul saat itu. Chang-ryul alu pamit pergi. In-hae tiba-tiba berkata kalau ia minta maaf karena ia hadir diantara dia dan Kae-in. Chang-ryul menolah dan berkata ia hanya minta kelak In-hae mencintai orang yang bersamanya saja bukan laki-laki yang bukan miliknya (Pacar orang maksudnya..). In-hae mengangguk lagi. Chang-ryul berkata bagaimanapun ia pernah mencintai In-hae dan ia mengira In-hae juga mencintainya saja sehingga ia memutuskan untuk menikahinya. In-hae semakin sedih mendengarnya. Chang-ryul lalu pamit pergi lagi. In-hae mau mencegahnya tapi tak jadi, ia hanya bisa menangis mengetahui ketulusan hati Chang-ryul selama ini. Di luar apartement Chang-ryul yang terlihat tenang tadi ternyata juga sedih karena keputusannya berpisah dengan In-hae (baru tau ternyata Chang-ryul juga orang baik...).
Kae-in masih khawatir sehingga memutuskan menunggu Jin-ho didepan rumah. Kae-in kesal karena Jin-ho tak dapat di hubungi. Ia meraasa Jin-ho sepertinya pulng ke rumahnya malam itu. Kae-in makin kesal lagi jika benar begitu kenapa Jin-ho tidak meneleponnya terlebih dahulu sehingga ia tidak perlu khawatir. Setelah menunggu beberapa lama di luar Kae-in semakin yakin kalau Jin-ho sepertinya tidak akan pulanng kesana. Tapi tiba-tiba ia melihat sosok Jin-ho berjalan dengan sempoyongan karna mabuk. Kae-in menghampirinya. “Jin-ho sshi kenapa kamu begitu mlam pulangnya dan tidak mengangkat telepon dariku” kata Kae-in. “Teman saya Park Kae-in. Teman yang sama seperti teman saya Park Kae-in” kata Jin-ho senang sambil memluk Kae-in. “Bau arak, Jin-ho kamu sebenarnya sudah minum berapa banyak” kata Kae-in sambil mengelak pelukan Jin-ho dan mencoba memapah Jin-ho. Jin-ho menatap Kae-in dan berkata agar Kae-in jangan mencemasaknnya. “Teman saya yang memikirkan segalanya didunia ini secara sederhana. Park Kae-in” kata Jin-ho lagi. “Orang ini sedang katakan apa? Perkataan aneh. Jin-ho kuatkan mental kamu, ayo cepat masuk rumah saja” kata Kae-in mencoba memapah Jin-ho lagi.
Di dalam rumah kae-in membuat air madu dan memberikannya untuk Jin-ho yang sedang duduk di teras. Kae-in bertanya sebenarnya ada pa hingga Jin-ho minum begitu banyak. Jin-ho berkata pasti ada harii yang membuat orang ingin pergi minum. Kae-in tak mengerti, ia bertanya apa Jin-ho sedang marahan lagi dengan Sang-joon. Jin-ho lalu bercerita bahwa ia sebenarnya ingin menjadi orang yang berhasil hingga di anggap gila karena usahanya untuk meraih itu. Ia juga bercerita kalau ia sudah mempertaruhkan segalanya usahanya itu, tapi ia tetap dianggap anak kecil. Kae-in muali mengerti apa yang terjadi. Jin-ho lalu berkata lagi sejak ayahnya meninggal, ia tidak melakukan apapun selain mencoba menunjukan kebenaran yang selama ini ditutupi karena fitnah. “Karena difitnah hingga hampir gila, tapi tetap juga tidak bisa melakukan apapun jadi hanya bisa pergi minum saja”. “Jin-ho” kata kae-in prihatin. “Tak peduli bagaimanpun usaha saya, saya cuma bisa berlari ditempat saja” kata Jin-ho sedih hingga mengeluarkan air mata. “Jin-ho kamu sedang menangiskah” kata Kae-in prihatin. Ia lalu memegang wajah Jin-ho hingga mereka saling berpandangan. Kae-in memegang wajah Jiin-ho dengan lembut dan berkata “Jin-ho, jangan menangis”. Jin-ho memandang wajah Kae-in lama dan kemudian ia mendekat untuk mencium Kae-in.
0 comments:
Post a Comment