Kae-in sedang melakukan pengakuan pada Chang-ryul dan tiba-tiba Jin-ho datang menarik tangannya, lalu berkata “Game over” dan menciumnya. Chang-ryul dan In-hae yang ada disana tak percaya melihat kejadian itu. Chang-ryul kemudian segera mimasahkan meraka, ia tanya apa yang dilakukan Jin-ho dengan calon pacarnya dan ia mengingatkan Jin-ho tentang pembicaraan mereka berdua kemarin. Kae-in masih bingung dengan kejadian itu. “Saya juga ingin melakukan itu, tapi saya tak dapat lakukan” kata Jin-ho. “Apa?” kata Chang-ryul tak percaya. “Mulai sekarang, saya mau dengan identitas sebagai lelaki berpacaran dengan wanita ini” kata Jin-ho. Kae-in kaget mendengarnya. “Jeon Jin-ho!” kata Chang-ryul kesal. In-hae kaget tak percaya mendengar pengakuan Jin-ho. “Jin-ho apa maksud semua ini? Kamu kenapa bisa dengan identitas sebagai lelaki” tanya Kae-in bingung. Jin-ho menghampiri Kae-in dan menjelaskan. “Kae-in, saya bukan gay”. Kae-in tambah bingung. “Kalau begitu!”. “Sangat maaf, sekarang baru beritahu kamu” kata Jin-ho. Kae-in mulai mengerti bahwa itu kenyataan. “Walaupun terlambat. Tapi, kamu bisa maafkan saya kan?”tanya Jin-ho lagi. Kae-in sedih mungkin juga lega ia memukul-mukul bahu Jin-ho sebagai tanda kekesalannya kerena dibohongi. Tapi pukulan Kae-in pelan dan seperti tak niat sehingga Jin-ho bisa menghentikannya kemudian memeluk Kae-in.
Chang-ryul pergi minum-minum bersama In-hae. ia bertekat melepaskan Kae-in. Tapi In-hae berkata bagaimana bisa Chang-ryul menyerah begitu saja, ia menyuruh Chang-ryul pergi mencari Kae-in dan berlutut memohon untuk kembali. Tapi Chang-ryul sepertinya sudah benar-benar ingin merelakan Kae-in, ia berkata kalau mereka berdua tadi terlihat saling mencintai, jadi tak ada harapan lagi ia bisa kembali dengan Kae-in. In-hae tak peduli, ia mengingatkan lagi kalau Chang-ryul pernah berkata kalau ia tak bisa hidup tampa Kae-in jadi seharusnya ia berusah merebut Kae-in lagi. Chang-ryul tetap tak mau. In-hae tanya apa alasannya. Chang-ryul berkata karena ia mencintai Kae-in dan ia selama ini telah membuat Kae-in menderita, jadi jika ia sekarang bersama Jin-ho bisa tersenyum maka sudah seharusnya ia melepaskannya. In-hae tertawa mendengar alasan itu. “Kamu kira itu adalah cinta?”. “Kamu kira itu adalah cinta? Jangan salah, Han Chang-ryul. Itu hanyalah alasan untuk menutupi kelemahanmu saja. Kamu hanya bisa disini minum-minum untuk menghilangan pikiran tentangnya. Tapi aku mulai sekarang akan melakukan tindakan” kata In-hae kemudain berdiri hendak pergi. Chang-ryul menariknya duduk kembali. “Aku mohon kamu hentikan ini saja. Kim In-hae, kamu berbuat begini hanya akan membuat dirimu makin parah saja”. "Dalam kasus cinta hanya ada satu ketepatan saja. Yaitu jika saya tidak dapat memilikinya, maka orang lain jangan harap memilikinya”.
Dalam perjalan pulang Kae-in hanya diam saja di mobil. Jin-ho terlihat lega karena telah berhasil mengatakan hal yang sebenarnya, tapi melihat Kae-in begitu kecewa. Ia minta maaf lagi dan berkata kalau ia tahu ia salah dan pantas mati. Tapi Kae-in tetap diam saja. “Apa kamu lain hari pun tak ingin bertemu dengan saya lagi? Kamu tak tahu saya juga melewati ini dengan sangat kacau” kata Jin-ho memancing. Kae-in diam saja dan mengingat pembicaraan mereka setelah kejadian ciuman itu disuatu tempat.
Jin-ho akhirnya mengantar Hye-mi pulang kerumahnya. Ibu Jin-ho sudah menenangkan Hye-mi hingga ia tertidur. Kemudian ibu Jin-ho berkata pada Jin-ho agar ia memaklumi kelakuan Hye-mi yang kekanak-kanakan. Jin-ho berkata lebih baik luka sedikit sekarang dari pada luka berkepanjangn nanti, kemudian ia tanya pada ibunya apakah ibunya tahu Tae-hoo begitu mencintai Hye-mi. Jadi ia berharap ibunya tak mengkhawatirkan Hye-mi lagi.
Sementara itu Kae-in kesal karena pergi tanpa memberitahunya. Ia mondar-mandir menunggu Jin-ho. “Tidak pulang iyakah?” kata Kae-in kesal. Sementara itu di tempat lain Jin-ho sedang pamitan pada ibunya. Ibunya memperingatkan jika Jin-ho terus tinggal di rumah Kae-in tanpa ikatan pernikahan akan sangat tidak enak jika diomongkan orang lain.
Jin-ho tetap beralasan karena ada proyek bersama Kae-in makanya putuskan untuk tinggal bersama dengannya agar lebih leluasa. Ibunya tanya apa Kae-in juga seorang arsitek. Jin-ho berkata bukan, dan menjelasakan kalau Kae-in adalah Designer furniture yang sekarang punya tugas penting mendesain salah satu proyeknya. Ibunya sedikit tak percaya. Jin-ho lalu mengalihkan pembicaraan dan minta ibunya menyelesaikan masalah tetang Hye-mi karena nanti bisa mengganggu hubungannya dengan Kae-in. Ia kemudian pamit pulang lagi.
Di Sang Go-jae Kae-in telah mengambil boneka Jin-honya, ia menggantung boneka itu kemudian dipukullinya sambil mengomel. “Kamu, Jin-ho. Kamu baik-baik sadarkan diri. Kamu sebenarnya bagaiman terhadap wanita? Membuat mereka terus terseyum terhadapmu. Kamu ini lelaki jahat!”.
“Kamu sekarang lagi melakukan apa?” kata Jin-ho tiba-tiba mengagetkan Kae-in. “Kenapa boneka ini bernama Jin-ho?” lanjut Jin-ho. Kae-in panik, ia langsung menurunkan bonekanya dan hendak pergi. “Memukul boneka ini, apa membuat hatimu jadi agak baikkan? Jangan begini, lebih baik kamu memukuli aku saja” kata Jin-ho sambil menarik tangan Kae-in agar tidak pergi. Kae-in tidak enak, ia tetap mau pergi. Tapi Jin-ho menghalangi lagi dan berkata “Saya ini orang jahat, jadi lebih baik kamu pukul saya saja”. Jin-ho yang masih memegang tangan Kae-in lalu menarik tangan Kae-in untuk memukuli dirinya. “Benar.. benar.. lepaskan!” kata Kae-in menarik tangannya. “Kamu dengan Hye-mi ada hubungan apa?” tanya Kae-in tiba-tiba. Jin-ho kaget, Kae-in langsung menjelaskan maksudnya “Bukan begitu tadi Hye-mi bilang ia adalah calon istri kamu. Itu pasti ada hal yang disembunyikan iya kan?”. “Dari umur 7 tahun Hye-mi sudah begitu” kata Jin-ho. “Ha.. mulai dari umur 7 tahun sudah suka kamu?” kata Kae-in kaget. “Kamu benar-benar membuat banyak wanita menangis” lanjut Kae-in. “Kamu lagi cemburukah?” kata Jin-ho sambil tersenyum. “Siapa yang cemburu?” kata Kae-in gengsi. “Saya lihat kamu memang benar-benar lagi cemburu” kata Jin-ho sambil tersenyum lagi. “Tidak cemburu! Saya benar-benar tak mengerti kamu. Saya kira seharusnya kamu menjadi orang yang tegas. Hye-mi sudah mengejarmu dari umur 7 tahun. Kamu mana bisa begitu terhadap dia? Hal ini tidak ada kaitannya dengan saya, kamu suka bagaimana ya terserah kamu”. Jin-ho hanya senyum-senyum kecil melihat reaksi Kae-in yang cemburu. “Orang yang begitu kejamkah menurutmu, yang mengatakan hal sebenarnya? Saya memang kejam tidak memeprdulikan perasaan ornag lain bagaimana. Juga tidak ada waktu memperdulikan hal itu. Jadi saya baru bisa membuatmu sedih” kata Jin-ho menjelaskan.
Kae-in jadi tak enak, ia lelu mencoba menayakan sikap kejam yang bagaimana Jin-ho tunjukan saat berhubungan dengan Eun-soo. “Sebelum dia pergi kuliah, dia bilang pada saya jika saya suruh dia tinggal maka dia akan tinggal. Tapi saya tidak menyuruhnya tinggal” jelas Jin-ho. Kae-in kaget mendengarnya, ia tanya kenapa alasannya karena Eun-soo adalah orang yang bisa menarik perhatian Jin-ho begitu besar dulu. “Saya tak yakin dia adalah orang yang begitu berarti dalam hidup saya” jelas Jin-ho lagi. “Kalo begitu saya bagimu apa?” tanya Kae-in. “Walaupun kehidupan dimulai kembali, kamu adalah orang yang tak ku inginkan hilang dari kehidupan saya”. Kae-in jadi salah tingkah mendengarnya, ia lalu mengalihkan pembicaraan dan bertanya apa Jin-ho tidak lapar. Kae-in kemudian mau pergi membuatan mie, tapi Jin-ho mencegah. Dia menarik tubuh Kae-in kemudian memeluknya erat. “Jika merasa malu kamu selalu menanyakan tentang makanan, dasar wanita aneh” kata Jin-ho sambil memeluk Kae-in. “Aku mencintaimu” lanjut Jin-ho. Kae-in senang mendengarnya dan mereka saling berpelukan malam itu.
Pagi harinya Jin-ho yang sedang senang berbuat baik pada para karyawannya. Semua karyawan heran melihat sikap Jin-ho itu. Jin-ho beralasan hal itu sebagai rasa terimakasih karena mereka telah bekerja keras selama ini, ia juga berkata kalau ia mencintai para karyawannya. Semua karyawan langsung bubar begitu mendengarnya.
Sementara itu di Sang Go-jae Kae-in dengan malu-malu menceritakan kejadian kemarin pada Young-soon. Young-soon kaget setengah mati mendengarnya. Ia memeringatakan Kae-in akan mati jika berbohong kepadanya. Kae-in berkata bahwa itu kenyataannya. Jin-ho kemarin mengaku kalau dia bukan gay dan menyatakan kalau ia mau berhubungan dengannya seperti hubungan pria dan wanita apalagi kemarin Jin-ho menciumnya didepan In-hae dan Chang-ryul. Young-soon senang sekali mendengarnya, tapi kemudain ia ingat kalau cerita itu benar maka Sang-joon telah membohonginya.
Young-soon langsung membuat janji bertemu dengan Sang-joon. Saat Sang-joon sudah tiba, Young-soon dengan muka serius bertanya apa Sang-joo bukan gay. Mulanya Sang-joo mengelak, tapi melihat muka Young-soon yang serius akhirnya ia mengakuinya. Young-soon langsung marah dan mau memukul Sang-joon, ia merasa malu karena selama ini ia menganggap Sang-joon gay makanya ia meceritakan rahasia yang bahkan tak bisa dia ceritakan pada Kae-in (apa ya???). Sang-joon berkata agar Young-soon tak perlu malu terhadap dirinya. Young-soon marah dan minta merek jangan bertemu lagi. Sang-joon heran, ia tanya darimana Young-soon tahu kebenaran itu. “Apa karena saya yang berpura-pura gay masih memiliki daya tari laki-laki?” tanya Sang-joo. “Bicara apa kau? Benar-benar ingin aku menghajarmu ya? Kae-in dan Jin-ho sedang berpacaran” kata Young-soon. “Apa? Siapa berpcaran dengan siapa?” tanya Sang-joon kaget.
Begitu sampai di kantor Sang-joon langsung mencari Jin-ho. “Kamu..”. “Apa?” kta Jin-ho bingung. "Kamu dan Kae-in??”. “Wah kabarnya sangat cepat juga ya?” kata Jin-ho senang. “Apa? Kalau begitu ini adalah kenyataan”. “Ya.. kenyataan” kata Jin-ho sambil senyum lebar. “Kalau begitu bagimana ini? Bagaiman dengan ketua Choi?” kata Sang-joo khawatir. “Dia tahu kamu adalah gay, makanya begitu mendukungmu” kata Shang-joon lagi. “Aku akan katakan yang sebenarnya padanya” kata Jin-ho. “Kamu jangan terburu-buru, ini adalah masalah yang sangat serius. Jika ketua Choi marah lalu membatalkan kamu, kita harus bagaimana? Kamu apa benar begitu mencintai Kae-in?” kata Sang-joon. Jin-ho mengangguk senang.
Sementara itu di gedung Maiseu, Do-bin menyerahkan tiket ke pulau Jeju buat Kae-in. Ia ingin Kae-in membantunya dekat lagi dengan Jin-ho dan berharap kali ini Kae-in berakting dengan baik. Kae-in tak enak dan mau mencoba menjelaskan. Tapi tiba-tiba In-hae datang memberitahu kalau Do-bin harus pergi kebandara sekarang. Kae-in bingung harus bersikap bagaimana.
Di suatu apartement ayah Chang-ryul marah-marah sambil membangunkan Chang-ryul. “Bocah ini kamu apakah tak mau hidup lagi”. Ayah Chang-ryul terus marah-marah saat Chang-ryul mulai bangun, ia juga mengancam akan mengirim Chang-ryul ke Cina. “Ya, saya akan lakukan” kata Chang-ryul setuju dikirim ke Cina. Ayah Chang-ryul dan asisten Kim kaget mendengarnya. Ayah Chang-ryul langsung mau menghajar Chang-ryul tapi dihalangi oleh asisten Kim. “Saya tidak ada kepercayaan diri lagi tinggal disini. Jadi saya pergi saja ke Cina” kata Chang-ryul menjelaskan.
Ternyata ibu Jin-ho mau bertemu Jin-ho dengan Kae-in. Kae-in sangat cemas dengan penampilannya karena ini pertemuan pertama dengan Ibu Jin-ho secara resmi. Jin-ho berkata bahwa ibunya bukan orang yang menilai orang lain dari penampilannya. Kae-in tetap cemas, ia takut ibu Jin-ho menganggapnya tak sepandan untuk anaknya. Jin-ho hanya senyum, ia lalu berkata kalau ibunya juga akan bilang suka jika ia mengatakan suka. “Benarkah?”. “Ya. Ia pasti akan menganggapmu sebagai putrinya juga” kata Jin-ho menenangkan. Kae-in mulai lega, tapi tiba-tiba ia meliha ibunya Jin-ho datang. Kae-in langsung reflek berdiri memberi hormat dengan tegang. Kemudian mereka bertiga duuduk bersama. “Nona Park Kae-in, iya kan?”. “Ya”. “Hari itu terlalu kacau, jadi tidak bicang-bincang dengan baik dengan kamu”. “Tidak, sayalah yang tidak baik. Seharusnya sejak awal pergi bertemu dengan anda”. “Saya percaya Jin-ho. Saya yakin pasangan yang dicari Jin-ho adalah yang unggul”. “Saya masih banyak kekurangan” kata Kae-in malu-malu. “Kamu ini! Seharusnya merasa bangga!” kata Jin-ho memperingatkan. “Dia ini begitu jujur” kata Jin-ho pada ibunya. “Kelihatannya Jin-ho sangat menyukai dia” kata Ibu Jin-ho pada Jin-ho. “Ini pertama kali melihatmu didepan saya masih membantu orang lain berbicara” lanjut ibunya. “Jika saya tidak membantunya, dia tidak akan dapat saya”. “Saya ini bukan orang yang begitu pelitkan? Walaupun bukan pelit, tapi saya ada sedikit kecemasan”. “Apa?” kata kae-in kaget. “Proyek yang sekarang kalian kerjakan. Walaupun kalian katakan tidak ada cara lain selain harus bersama”. “Proyek?” kata Kae-in kaget. Jin-ho langsung berusaha menjelaskan. “Kita sekarang bukannya sedang bekerja sama menangani proyek gedung Meiseu kan?”. Kae-in bingung, Jin-ho memberi tanda agar Kae-in mengikuti saja cerita karangannya. Kae-in akhirnya mengangguk membenarkannya. “Jadi kalian benar-benar bekerja sama? Ini saya bisa mengerti, tapi harap kamu janji pada saya satu hal”. “Apa?” kata Kae-in cemas. “Sebelum menikah hamil dulu. Saya harap ini tidak terjadi” kata ibu Jin-ho. Kae-in dan Jin-ho kaget mendengarnya.
Saat pulang ke Sang Go-jae, Kae-in masih memikirkan perkataan ibu Jin-ho. Ia akhirnya tiba-tiba menyuruh Jin-ho pulang kerumahnya saja. “Apa?” kata Jin-ho kaget. “Kamu kenapa harus tinggal disini dan berbohong pada ibumu? Sebelum menikah hamil!, saya dengan apa harus mendengar perkataan seperti ini?” kata Kae-in kesal. “Kamu jangan terlalu memikirkannya. Saya dengan satu jari pun tak ada niat mau menyentuhmu. Jadi kamu jangan salah paham”. “Hanya kamu yang memikirkan begini. Apa gunanya? Ibu tetap saja khawatir”. “Kalau begitu saya akan pergi saja” kata Jin-ho mengancam. “Pergilah”. “Kamu ini benar-benar sangat dingin. Saya benar-benar akan pergi nih”. “Pergilah” kata Kae-in dingin.
Jin-ho kemudian memberesan barang-barang dikamarnya. Kae-in mengawasinya. “Mau saya bantu?”. “Tak perlu” kata Jin-ho kesal. “Benar juga ini adalah masalahmu sendiri jadi harus kamu selesaikan sendiri” kata Kae-in menggoda. “Saya mulanya sudah begini” kata Jin-ho. Kae-in senyum dan tanya “Tak ingin pergi ya!”. “Kenapa tak ingin pergi? Tidak ada kamu, saya malah bahagia”. Kae-in menggoda lagi dengan berkata kalau sebaiknya mereka kencan seminggu sekali saja. Jin-ho kaget mendengarnya. Kae-in berkata ia sedang sibuk akhir-akhir ini jadi cukup kencan sekali seminggu saja. “Saya juga dengan sibuk dengan proyek baru. Kalau begitu bagaimana kalau kita sebulan sekali bertemu saja?” kata Jin-ho balas menggoda. Tapi Kae-in malah langsung menggangguk menyetujuinya, dan berkata sebaiknya Jin-ho segera beberes dan lekas pergi karena ia sedang banyak kerjaan. Kae-in pergi, Jin-ho kesal godaannya tak berhasil. “Tak bisa begini” kata Jin-ho.
Jin-ho selesai berberes, ia pamit pada Kae-in dari luar kamar kerja Kae-in. Kae-in yang sedang bekerja dari dalam dengan enteng mempersilahkannya. “Tidak pergi mengantar keluar sayakah?” kata Jin-ho kesal. “Saya sangat sibuk, tak ada waktu untuk itu”. “Kalau begitu kamu rajin bekerja saja, saya pergi” kata Jin-ho memancing. “Selamat jalan”. “Benar. Saya pergi nih” kata Jin-ho. Didalam Kae-in kesal “Kamu buka pintu sendiri tak bisakah? Benar-benar sangat keterlaluan”. Jin-ho kesal pergi menuju mobilnya. “Park Kae-in, kau benar-benar bodoh. Jika saya pulang kerumah bagaimana bisa keluar lagi” gumam Jin-ho sendiri. Kae-in tak bisa konsentrasi kerja, ia kesal karena Jin-ho menuruti saja perintahnya untuk keluar dari rumahnya. Ternyata Jin-ho tidak pergi, ia tinggal di dalam mobilnya. Ia mencoba membuat alasan-alasan agar bisa kembali ke Sang Go-jae.
Tiba-tiba Kae-in mendengar pintu gerbang rumahnya terbuka. Ia kaget sekaligus senang mendengarnya karena ia menganggap itu Jin-ho. Dan benar Jin-ho kembali ke dalam. Kae-in lalu keluar dengan sikap sok dingin, ia tanya kenapa Jin-ho kembali. Jin-ho berkata kalau laptopnya ketinggalan. “Barang yang begitu penting dan dipakai tiap hari kenapa sampai keluapaan tidak di bawa?” sindir Kae-in. “Saya juga ada saat tidak hati-hati” kata Jin-ho. Jin-ho memberekan laptonya dengan pelan-pelan, Kae-in menggoda agar Jin-ho segera memberekan laptopnya dan pergi dari sana. “Saya bukannya sedang memberesakan” teriak Jin-ho kesal.
Setelah selesai beres-beres dan mau pergi, Kae-in memperingatkan agar Jin-ho lihat lagi apa ada barang yang ketinggalan tidak, agar ia tidak kembali lagi. “Saya sudah kemas semuanya” kata Jin-ho kesal. “Kalau begitu kamu baik-baik di jalan, ya!” kata Kae-in. “Kamu harusnya yang baik-baik”. “Huah.. sangat ngantuk” kata Kae-in pura-pura ngantuk dan masuk kamarnya. ‘Lihat.. mengartar pergi pun tidak “kata Jin-ho kesal. Jin-ho pergi, Kae-in di dalam mengupingnya. Ia khawatir Jin-ho kali ini benar-benar pergi, kemudaian ia pura-pura sakit. Dan benar Jin-ho langsung khawatir dan masuk melihat keadaan Kae-in. “Ada apa?”. “Saya tadi terjatuh, sepertinya kaki saya terluka”. “Mana, disinikah?” kata Jin-ho sambil memegang kaki Kae-in yang sakit. Tapi Kae-in malah tertawa geli karena kakinya dipegang. Jin-ho memandang Kae-in curiga. Kae-in sadar dan pura-pura lagi dan menunjuk bagian kakinya yang sakit. Jin-ho melihat bekas luka lama disana dan tanya itu luka karena apa. Kae-in berkata mungkin karena jatuh saat kecil tapi ia sudah lupa kejadiannya bagaimana. Jin-ho mengelus luka itu dan bilang “Pasti sangat sakit ya?”. Tapi lagi-lagi Kae-in geli saat kakinya dipegang Jin-ho. Jin-ho akhirnya sadar kalau Kae-in hanya berbohong. Kae-in menyangkal dan berakta kalau ia benar-benar sakit. Jin-ho tak percaya dan berkata kalau akting Kae-in buruk sekali. Kae-in kesal dan menghampiri Jin-ho. Mereka saling bertatapan dan tiba-tiba mereka jadi gugup karena terlalu dekat. Mereka lalu mau berciuman, tapi tiba-tiba ada suara Young-soon datang. Kae-in kaget dan khawatir jika Young-soon melihat Jin-ho dikamarnya. Ia minta Jin-ho sembunyi sementara ia menemui Young-soon.
Kae-in menghampiri Young-soon ia tanya kenapa Young-soon tiba-tiba datang malam-malam. Young-soon terlihat sedih. Kae-in tanya sebenaranya ada apa hingga Young-soon datang membawa koper besar-besar. Young-soon Cuma berkata bahwa Kae-in pasti tahu kenapa. “Bertengkar dengan oppa lagi kah?”. “Kae-in, saya bisakah tinggal sementar di sini?” tanya Young-soon memelas. Kae-in kaget mendengarnya tapi ia hanya bisa menganggu-angguk menyetujuinya. Sementara itu Jin-ho yang sedang sembunyi di dalam lemari kesal mendengarnya. “Orang ini kenapa mau tinggal di sini?”. Kae-in khawatir dengan Jin-ho, ia mencoba memeperingatkan Young-soon bahwa ia tidak bisa keluar rumah begitu saja karena masih ada anaknya di rumah. Young-soon tetap pada pendiriannya dan cerita permasalahannya. Kae-in bingung harus bertindak bagaimana.
Tiba-tiba Young-soon ingat, ia tanya apa Jin-ho ada di rumah karena ia takut Jin-ho mendengar curhatnya tadi. “Tidak, Jin-ho sedang tak ada sini” kata Kae-in. Young-soon jadi tenang, ia ingat Jin-ho bukan gay jadi pasti tak enak tinggal dengan Kae-in. Young-soon kemudian tanya apa Kae-in pernah melihat sesuatu yang tak boleh dilihat saat mereka tinggal bersama. “Kamu ini khawatiran apa, kami ingin melihat pun tak dapat melihat” gumam Kae-in pelan. “Apa?” tanya Young-soon. “Tidak. Tidak ada apa-apa” kata Kae-in. Young-soon kemudian mau masuk kamar Kae-in untuk membereskan baranganya dan menyuruh Kae-in menyiapan makanan untuknya. Kae-in langung cemas, ia mencoba menyuruh Young-soon mandi dulu sebelum masuk kamarnya. Young-soon heran tapi akhirnya menurutinya.
Kae-in masuk kekamarnya, ia bingung karen Jin-ho tak ada di sana. Ia lalu memanggil-manggil nama Jin-ho pelan, Jin-ho keluar dari lemari. Ia langsung menyuruh Kae-in mengantar Young-soon pulang. Kae-in berkata tak bisa karena Young-soon baru bertengkar dengan suaminya. “Kalau begitu kamu menyuruhku sembunyi dini sampai kapan?” tanya Jin-ho kesal. Kae-in menyuruh Jin-ho pelan dikit sambil menyuruh Jin-ho pergi diam-diam saja dari sana. “labih baik waktu menjadi gay, lebih lelasa” kata Jin-ho. Kae-in tersenyum dan menggoda “Begitu ingin bersama saya kah?”. Jin-ho hanya diam. Kae-in lalu mencium pipi Jin-ho, ttapi tepat saat Young-soon mau masuk kekamar mencari Kae-in. Young-soon kaget dan langsung keluar lagi, tapi ia masuk lagi minta maaf dan berkata agar merea berdua melanjutkan saja kemudian keluar.
Keesokan harinya In-hae menerima laporan proyek museum untuk diserahkan pada Do-bin. Si karyawan curhat sedikit dengan berkata proyek museum pasti sudah berjalan jika sejak awal di serahkan kepada Prof. Park. Mendengar nama Prof. Park, In-hae jadi penasaran. Ia bertanya sebenarnya ada alasan apa sampai harus berurusan dengan Prof. Park. Si karyawan menjelasakan karena ketua Choi menyukai desain-desain bangunan rancangan Prof. Park. In-hae mulai menyadari sesuatu saat itu.
Jin-ho kembali kerumah saat mendengar masalah itu. Hye-mi langsung bertanya kenapa Jin-ho bisa memilih wanita seperti itu dan berata kalau Kae-in masih menerima ayah Chang-ryul yang datang membawa banyak hadiah untuk Kae-in. “Kamu diam” kata Jin-ho. Ia kemudian menghampiri ibunya untuk menenangkan serta menjelaskan keadaan sesungguhnya. “Ibu, saya akan beritahu semuanya”. “Sebelum saya mati, dia pasti tidak akan berhenti. Jika kamu ingin melihat saya mati kamu lakukan hal begitu saja” kata ibu Jin-ho tak menyetujui hubungan Jin-ho dan Kae-in.
Jin-ho sambil berlutut menjelaskan segalanya pada ibunya. Ibu Jin-ho tetap tak setuju Jin-ho berhungan dengan Kae-in karena dia dulu berhungan dnegan Chang-ryul. “Tapi saya duluan yang menyukai dia?” kata Jin-ho. Ibu Jin-ho kaget mendengarnya. “Jika dalam hati wanita masih ada sediit bayangan Chang-ryul, saya juga tidak akan melakukan begitu. Saya adalah anak ibu. Apa ibu ta bisa mengerti saya kah?”. ‘Saya tidak suka dia. Ta peduli dia bagaiman. Asalkan orang itu ada hubungannya dengan Han Chang-ryul. say tak beniat menerimanya menjadai menantu” kata Ibu Jin-ho kesal. “Ibu.. saya harus ada dia. Jia tida saya tak akan menikah” ancam Jin-ho. Ibu Jin-ho aget mendengarnya.
Young-soon sedang menenangkan Kae-in yang sedih karena masalah tadi. Ia berkata “Diantara pasangan kekasih bertengkar hanyalah seperti air pasang surut saja. Asal diantara kalian tidak mengambil hati. Tidak akan ada masalah”. “Waktu Jin-ho keluar, dia benar-benar sangat marah. Saya tak berani bertemu dengan dia lagi” kata Kae-in sedih. “Saya telepon Sang-joon dulu”. Kae-in kaget mendengarnya. “Saya sebenarnya sudah putuskan untuk tak menghubungi orang itu lagi tapi demi kamu, saya akan telepon dia”. “Kalau begitu Jin-ho sekarang lagi lakukan apa?”. “Asalkan tidak ada di kantor”. Tiba-tiba Young-soon dapat ide bahwa Kae-in harus ikut ke pulau Jeju menyusul Jin-ho. Kae-in bisa baik-baik menghibur Jin-ho di sana. Young-soon menyarankan agar Kae-in hamil dulu, pasti ibu Jin-ho akan menyetujui mereka.
Akhirnya Kae-in dan Young-soon pergi ke pulau Jeju. Di dalam pesawat sebenarnya Kae-in masih ragu. Tapi Young-soon menguatkan Kae-in agar yakin bahwa tindakannya benar dan Jin-ho pasti teharu jika melihatnya menyusul.
Saat di pulau Jeju Kae-in harus menunggu Young-soon di lobby hotel sebelum pergi. Young-soon beralasan tiba-tiba suaminya telepon jadi ia akan turun terlambat. Kemudian Young-soon menelepon Sang-joon dan memberitahu bahwa Kae-in ada di lobby hotel saat itu. Sang-joon berkata kalau Jin-ho juga sudah ada disana. Dan benar saja Jin-ho kaget melihat Kae-in sedang menunggu seseorang di lobby. Jin-ho senang sekali melihat Kae-in di sana dan merasa ialah yang sedang di tunggu Kae-in, ia lalu menghampiri Kae-in. “Nona Kae-in, kamu apakah begitu menyukai saya” kata Jin-ho tiba-tiba. Kae-in kaget mendengarnya, sekaligus kesal. Ia lalu pura-pura dingin dan berkata kalau ia ada kerjaan juga disana. Jin-ho tak percaya. “Saya tidak beralasan” kata Kae-in. “Kita keluar saja” kata Jin-ho sambil menggandeng tangan Kae-in pergi.
“Kita mau tidak pura-pura bertengkar?” ajak Jin-ho saat mereka kembali ke hotel. “Apa?” kata Kae-in kaget. “Mempermainkan Young-soon dan Sang-joon bukankah sangat menyenangkan”. “Kamu ini benar-benar jahat”. Tiba-tiba mereka berpapasan dengan Do-bin. Jin-ho langsung memberi hormat. “Acara di Jepang lebih cepat berakhir, jadi saya lebih awal kesini” kata Do-bin. Ia lalu mengajak mereka malan malam bersama. Kae-in jadi tidak enak pada Do-bin keran Do-bin memintanya untuk mendekatkan dia dengan Jin-ho. Jin-ho berkata kalau ia ingin mengatakan sesuatu pada Do-bin. Do-bin kaget dan bertanya apa ingin diucapkan sekarang. “Ya” kata Jin-ho. “Baiklah, ayo” kata Do-bin senang. “Ini adalah bagian yang mau saya selesaikan. Pergi langsung datang” kata Jin-ho pada Kae-in sebelum pergi.
Kae-in masuk hotel dan berpapasan dengan Chang-ryul. Chang-ryul kaget melihat Kae-in ada disana. Kae-in kemudian menghampiri Chang-ryul dan berkata kalau ia ingin berbincang sebentar dengannya di luar. Di sisi lain In-hae melihat kejadian itu, tiba-tiba ia merasa dapat ide.
0 comments:
Post a Comment