Keesokan hari setelah kejadian ciuman, Kae-in jadi malu dan takut kalau Jin-ho ternyata tertarik juga sama wanita, ia terus bersembunyi di bawah selimutnya. Tapi saat Jin-ho mau berangkat kerja Kae-in buru-buru keluar dari kamar. “Kamu mau berangkat kerja?” tanya Kae-in. Jin-ho mengangguk ia berkata sepertinya tadi malam ia banyak minum hingga jadi mabuk dan tak tahu apa ia telah buat masalah. “Apa kamu tidak ingat apa-apa?” tanya Kae-in lagi. Jin-ho hanya diam seperti berusaha mengingat sesuatu. “Bahkan tidak ingat kalau kau berhutang padaku 50.000 won?” tanya Kae-in seperti tak percaya. Jin-ho langsung mengambil uang di dalam dompetnya. Kae-in langsung bilang tak perlu dan berkata kalau ia hanya bercanda. “Lagi pula tidak ada hal besar yang terjadi” kata Kae-in terlihat sedikit kecewa, ia lalu berbalik mau ke kamarnya lagi. “Jika aku melakukan hal-hal yang terlalu, tolong maafkan aku. Aku minum terlalu banyak semalam” kata Jin-ho tiba-tiba. Kae-in berbalik dengan wajah ceria, ia berkata kalau ia mengerti keadaan Jin-ho dan menyuruh Jin-ho pergi kerja saja. Kae-in masuk kamar, dan berkata pada dirinya sendiri “Ya, dia pasti salah menganggapku sebagai kekasihnya. Tapi tak peduli seberapa banyak minumnya mana bisa ia melakukan hal seperti itu”.
Saat perjalanan pulang Kae-in melihat sebuah boneka di toko. Ia tertarik dan membelinya. Setelah sampai di rumah ia berkata pada boneka itu bahwa mulai sekarang rumahnya adalah rumah boneka itu juga. Dan ia menamai boneka itu Jin-ho. Kae-in lalu berusaha keras membuat makan malam. Jin-ho pulang dari kerja. Sebelum masuk ia memandangi plang nama Sang Go-jae dan berkata setelah hari sabtu nanti ia tak perlu tinggal di sana lagi.
Saat sampai dikantor Jin-ho menelepon biro jasa pengangkut barang. Sang-joon mendengarnya, ia tanya apa Jin-ho mau keluar dari Sang Go-jae. Jin-ho berkata kalau sudah tidak ada gunanya tinggal di Sang Go-jae lagi. Sang-joon mengerti, ia berkata kalau tinggal lebih lama di sana sepertinya malah akan membuat sedih Kae-in dan Jin-ho. Sang-joon lalu mencoba menghibur Jin-ho dengan membuat lelucon, tapi Jin-ho sama sekali tak tertarik. Sang-joon pergi dan berkata kalau Jin-ho sama sekali tak memiliki rasa humor, tapi Jin-ho malah tersenyum setelahnya.
Kae-in datang ke ruang kerja In-hae. In-hae memberikan sebuah amplop dengan kasar. Ia bilang isi amplop itu adalah uang yang bisa digunakan oleh Kae-in untuk biaya produksi pembuatan furniture museum. Setelah menjelaskan itu In-hae menatap Kae-in seperti menyuruhnya pergi. Kae-in berbalik segera mau pergi dari sana, tapi kemudian ia mendengar In-hae menelepon Jin-ho. Maendengar nama Jin-ho Kae-in jadi berhenti dan mendengarkan pembicaraan itu. In-hae berkata, ia menelepon karena ingin tahu bagaimana keadaan Jin-ho sekarang. Jin-ho di seberang berkata kalau ia tidak apa-apa, ia lalu mengajak In-hae pergi minum sebagai rasa terima kasih atas perhatiannya. In-hae menerimanya kemudian ia menutup telepon itu dengan senang. Kae-in langsung bertanya sebenarnya ada apa dengan Jin-ho kemarin. In-hae dengan dingin berkata bagaimana bisa Kae-in tidak tahu keadaan teman serumahnya. Kae-in hanya diam. In-hae lalu bercerita kalau kemarin perusahaan Meiseu membuat pengumuman pembatasan peserta proyek tender musem dan hal ini secara tak langsung menghalangi langkah perusahaan Jin-ho. Kae-in lalu ingat perkataan Jin-ho. “Tak peduli seberapa keras telah berusaha tapi tetap sia-sia saja” kata Jin-ho saat itu. Kae-in keluar kantor In-hae dalam keadaan lunglai, ia lalu mencoba menelepon Jin-ho tapi Jin-ho tak mau mengangkat teleponya.
Kae-in dan Jin-ho makan malam besama. Kae-in menghidangkan makanan buatannya dan berharap Jin-ho menyukainya karena ia telah berusaha keras. Jin-ho mengaduk-aduk makanan buatan Kae-in dan berkata kalau tampilan masakan itu tidak bagus. Kae-in berkata yang penting rasanya bukan tampilannya. Jin-ho tanya apa masakan itu buatan Kae-in sendiri. Kae-in mengiyakannya, ia berkata jika ia sedih atau sedang ada masalah ia akan membuat masakan karena dengan makanan fisiknya akan kembali kuat dan jadi semangat lagi. “Kemudian kamu makan lebih banyak dan jadi semangat kerja” kata Jin-ho dingin. Kae-in mengiyakannya ia berharap Jin-ho makan banyak kali ini. Jin-ho dengan dingin mengingatkan agar Kae-in hati-hati saat memasak agar jarinya tidak terkena pisau terus. Kae-in berkata tidak apa-apa karena jika ia terluka ada Jin-ho yang siap membantunya memberikan obat dan jika obatnya tidak ada Jin-ho akan membelikannya untuknya sehingga ia tidak perlu khawatir. “Apakah kamu pikir aku akan selamanya tinggal di sini?” kata Jin-ho dingin. Kae-in kaget ia berkata bagaimana Jin-ho bisa mengucapkan hal seperti itu dan pergi secara tiba-tiba. Jin-ho berkata bagaimanapun kelak ia kan pergi dari sana juga. Kae-in berkata ia tahu tapi mendengar Jin-ho berkata tiba-tiba seperti itu ia merasa aneh. Jin-ho berkata ia tidak akan segera pergi dari sana dan minta Kae-in tidak memikirkannya dan makan dengan tenang saja.
Jin-ho berangkat kerja. Dalam perjalanan ia teringat masa-masa bersama Kae-in. Ia tersenyum, ia mulai suka pada Kae-in (sepertinya ingat kejadian ciuman itu). Tapi begitu ia teringat perkataan Tae-hoon yang mengganggapnya jahat karena memanfaatkan Kae-in agar bisa tinggal di Sang Go-jae dan bisa memenangkan tander museum kali ini, Jin-ho langsung mencoba menghilangkan pikirannya tentang Kae-in.
Kae-in keluar membuang sampah, ia kaget melihat Chang-ryul dalam keadaan mabuk duduk di depan pintu rumahnya. Chang-ryul juga kaget melihat Kae-in, ia berkata kalau ia akan segera pergi. Kae-in bertanya apa Chang-ryul sering diam-diam datang kerumahnya. Chang-ryul berkata kalau ia juga tidak tahu kenapa ia sering datang ke sana, ia berkata kalau ia tak berdaya dengan keadan yang menyakitkan yang ia alami. Ia sebenarnya satang untuk mencari teman bicara, tapi ia sadar Kae-in pasti tidak mau mendengarnya. Ia teringat Kae-in dulu selalu mengdeangranya dengan sungguh-sungguh. “Tapi kau menghianatiku. Aku mungkin sudah akan mendengarkan baik-baik jika itu tak tejadi” kata Kae-in. Ia lalu mau masuk kembali, Chang-ryul mencegahnya. Ia menangis dan menyebut ibunya. Kae-in jadi tidak enak ia tanya apa yang terjadi dengan ibunya. “Meninggalkah?” tanya Kae-in.
Kae-in lalu mendengarkan cerita Chang-ryul di depan pintu rumahnya. Chang-ryul bercerita ibunya cerai dengan ayahnya. Dan sekarang ibunya mau pergi ke afrika, ia takut tak akan bertemu lagi dengannya. “Afrika, tempat yang cukup jauh” kata Kae-in dingin. Chang-ryul bercerita lagi bahwa ibunya kemarin gagal datang ke acara pernikahannya dengan In-hae karena ayahnya. Sehingga sekarang ia ingin melihat anak dan menantunya sebelum pergi, dan ingin membuat makanan untuknya. “Bukankah hal seperti ini seharusnya kamu katakan pada In-hae” kata Kae-in masih dingin. “Kami telah perpisah. In-hae bilang aku jauh dari laki-laki yang ia bayangkan. Selama ini ia membayangkan Chang-ryul yang kau gambarkan sebagai pacarmu adalah laki-laki yang paling sempurna di dunia ini”.
Jin-ho keluar kamarnya. Ia heran kamar Kae-in sepi sekali. Ia lalu masuk memerikasanya. “Apa ia pergi jalan-jalan sendiri?” gumam Jin-ho.
“Ok, aku tahu ini akan sia-sia. Kau berhak marah. Aku bahkan ingin kau melakukan itu. Aku ini benar-benar bersalah. Park Kae-in aku menyesal. Tapi ketika aku menjadi anjing gila, hanya di depanmu anjng gila ini di panggil” kata Chang-ryul berusah membujuk Kae-in untuk bertemu ibunya. “Cih..Chang-ryul kau benar-benar orang gila” kata Jin-ho yang mendengar pembicaraan itu dari dalam. “Tapi, hubungan ibu dan aku. Ibu selalu membelaku saat aku dipukul ayah. Kae-in, aku tahu aku gila. Aku hanya bisa bergantung padamu sekarang” kata Chang-ryul sedih. “Benar-benar hebat. Bagaimana mungkin kau membiarkanku melakukan itu” kata Kae-in dingin. “Meski ia adalah ibu kandungku? Dia adalah ibu kandungku” kata Chang-ryul. Jin-ho mendengarkan dengan baik, ia ingin tahu bagaimana reaksi Kae-in. Kae-in kaget. “Ibu kandungmu, tapi kau bilang ibumu sudah meninggal” kata Kae-in prihatin. Jin-ho masuk kerumah setelah mendengarnya. Chang-ryul berkata kalau itu karena ibunya dan ayahnya marahan. Oleh karena itu ia ingin memberikan kenangan terakhir pada ibunya.
Kae-in di dalam kamarnya bicara dengan sedih pada bonekanya yang dianggap Jin-ho. “Aku tahu karena pekerjaan kau bersikap begitu padaku. Tapi apa kau tahu betama marahnya dirimu? Kau tak marah? Seharunnya kau lebih jujur sedikit kalau kau tak punya teman. Dasar bodoh!”. Kae-in mendengar Jin-ho mau pergi. Ia segera keluar menemui Jin-ho.
“Jin-ho kau mau pergi?” tanya Kae-in. “Kenapa? Apa urusannya denganmu?” kata Jin-ho. “Maaf, tetang ujian itu dan telah membuatmu marah” kata Kae-in sedikit takut. Jin-ho jadi tidak enak mendengarnya. “Tapi kau akan memberiku satu kesempatan lagi bukan?” kata Kae-in berani. Jin-ho hanya diam. “Kau mau pergi kemana? Aku ikut ya!” kata Kae-in lagi.
Akhirnya Jin-ho dan Kae-in pergi jalan-jalan bersama naik mobil. Di dalam perjalanan Kae-in berteriak-triak keluar mobil, ia minta Jin-ho mengikutinya karena itu bagus untuk melepaskan kekesalannya. Jin-ho menganggap Kae-in gila dan tak mau menurutinya. Kae-in terus memaksa, Jin-ho akhirnya mau tapi teriakkan kecil. Kae-in menyuruh agar Jin-ho lepas agar teriakkannya keras. Jin-ho kembali tak mau. Kae-in menggelitik Jin-ho agar mau lagi. Jin-ho kesal ia bilang nanti bisa tabrakan jika Kae-in terus menggelitiknya. Kae-in senang Jin-ho kembali bersikap normal padanya, ia miinta Jin-ho mencoba berteriak lagi satu kali saja. Jin-ho akhirnya mau berteriak dan berhasil. Merek lalu berteriak bersama-sama.
Jin-ho dan Kae-in lalu berhenti di tepi sungai. Kae-in bertanya bagaimana perasaan Jin-ho sekarang apa sudah enakkan setelah teriak tadi. Ia lalu minta ujian akhirnya dilakukan sekarang saja. Jin-ho berkata kalau ia sedang tidak ingin membicarakan hal itu. Kae-in berkata kalau ia hanya minta beberapa menit saja dan ia yakin akan membuat Jin-ho terkesan dengan perubahannya. Jin-ho lalu bersikap serius “Park Kae-in”. “Ya” kata Kae-in bingung. “Kau tidak menyukaiku. Karena aku tidak bisa mencintaimu”. Kae-in semakin bingung “Baik. Itulah yang seharunya terjadi” kata Kae-in. Tiba-tiba Kae-in sadar “Ini ujiannya ya?” kata Kae-in. Jin-ho hanya diam. Kae-in senang dan menyuruh Jin-ho melanjutkan. “Oleh akrena itu, kau tahu hubungan kita sudah bertahun-tahun. Sekarang aku bertemu denganmu karena ingin mengatakan padamu bahwa kau tampak seperti pacarku sebelumnya. Aku sama sekali tidak bisa melupakannya. Aku akan selalu melihatnya di dalam dirimu. Aku akan selalu memintamu melakukan tindakan yang sama dengannya. Apa kau tidak masalah?”. “Apakah kau begitu mencintai perempuan itu?”. “Ya”. “Aku akan melakukannya. Karena aku mencintaimu. Jadi saya akan mencoba memenuhi permintaanmu”. Jin-ho langsung menarik tubuh Kae-in. “Hey! Apa yang kau bilang ini? Apa ini yang kau sebut berubah? Kau seperti orang tolol tidak ada perubahan dari sebelumnya” kata Jin-ho marah. “Aku tidak sengaja” kata Kae-in bingung. “Kau begtu mendesak” kata Kae-in lagi. “Ini yang disebut ujian akhir! Seharusnya kamu bisa melaluinya” kata Jin-ho marah lagi. Kae-in hanya diam, Jin-ho jadi tidak enak dan melepasakan tangannya dari tibuh Kae-in. “Lalu aku harus bagaimana?” tanya Kae-in. Jin-ho terlalu kesal sehingga tidak menjawabnya. “Cinta tak perlu harga diri” kata Kae-in beralasan. “Cinta tak meminta orang kehilangan harga dirinya. Tapi mengawal seseorang. Lakuakn ini! Jangan percaya, jangan cinta, tidak memaafkan” kata Jin-ho memberi saran. “Kau harus menjdai 10 juta kali lebih kuat dari sebelumnya” kata Jin-ho lagi. “Saya akan mencobanya” kata Kae-in. Dalam hati Jin-ho berkata “Kau seharunya tidak mendengarkan kata-kata Chang-ryul kalau kau ingin berubah”. “Bagaimanapun aku telah berusaha mengubahmu” kata Jin-ho tiba-tiba. “Kenapa? Apa kau tak percaya padaku?” kataKae-in. Jin-ho tak peduli ia masuk kedalam mobil. Kae-in mengejar ia berkata kalau ia bisa berubah dan minta Jin-ho percaya kepadanya. Jin-ho tetap tak peduli dan tetap masuk kedalam mobil.
Pagi harinya Kae-in melihat bunga itu dan bingung melihatnya. Jin-ho keluar dari kamar mandi Kae-in langung tanya apa bunga itu dari Jin-ho. Jin-ho hanya berkata agar Kae-in ingat bahwa mawar itu berduri. Jin-ho lalu pergi, Kae-in semakin bingung tapi ia senang mendapat bunga dari Jin-ho.
Kae-in habis mandi saat ia melihat Jin-ho sudah pulang kerja. “Kau sudah pulang?” tanya Kae-in. “Kau sedang melakukan apa?” tanya Jin-ho balik saat melihat rambut Kae-in masih berhanduk. “Oh, ini. Bukankah aku sudah mengatakan kalau aku akan pergi menjenguk temanku yang baru saja melahirkan” kata Kae-in. “Benarkah?”. “Tentu saja benar, makanya aku menbersihkan rambutku takut anaknya akan mual” kata Kae-in. Jin-ho tak peduli dengan penjelasan Kae-in dan pergi masuk kamarnya. Kae-in menyesal karena ia telah berbohong pada Jin-ho.
Chang-ryul mengantar Kae-in pulang, ia berterima kasih karena Kae-in mau menemaninya. Kae-in hanya diam dan mengembalikan bros dari ibu Chang-ryul. Chang-ryul berkata kalau bros itu sudah dikasihkan kepada Kae-in kenapa dikembalikan. Kae-in berkata dengan dingin agar bros itu diberikan kepada In-hae saja karena itu memang untuknya. Chang-ryul berkata In-hae pasti menolaknya karena tidak sesuai selerannya. Kae-in tak peduli ia beralasan kalau ia juga tak berhak memilikinya. Chang-ryul tetap memaksa agar Kae-in menerimya karena itu dari ibunya. Kae-in kesal ia berkata kalau ia sudah melakukan yang Chang-ryul mau jadi jangan memaksanya lagi. Kae-in turun dan langsung masuk rumah.
Jin-ho akhirnya mau membantu menusuk jari Kae-in. Setelah selesai Jin-ho langsung mau masuk kekamarnya, tapi Kae-in mencegah. Kae-in bertanya apa sebenarnya hubungan Jin-ho dengan ayah Chang-ryul, apa mereka sudah saling kenal. Jin-ho bertanya bagaimana Kae-in bisa tahu. Kae-in berbohong, ia berkata kalau ia hanya tiba-tiba berpikir apa Jin-ho sedang dipermainkan Chang-ryul. “Apa Chang-ryul yang mengatakannya?”. “Bukan. Aku cuma tiba-tiba memikirkannya” kata Kae-in. Jin-ho lalu mnejelaskan bahwa ayahnya dan ayah Chang-ryul dulu adalah rekan bisnis. Tapi kerena persaingan hak menajemn perusahaan ayahnya disingkarkan. Kae-in jadi tidak enak, ia berkata apa karena cuma hal itu keluarga Chnag-ryul jadi kejam padanya. Jin-ho berkata walaupun ia berusaha keras tapi usahanya tetap sia-sia. Kae-in lalu menyemangati dan berkata agar Jin-ho jangan menyerah karena trik-trik kotor yang dilakukan keluarga Chang-ryul untuk menjegal Jin-ho ber parrtisipasi dalam proyek museum. Jin-ho kaget ia bertanya dari mana Kae-in tahu masalah ini. Kae-in jadi gugup ia berbohong dengan mengatakan kalau ia mendengarnnya dari orang-orang museum. Jin-ho tahu kalau Kae-in bohong tapi ia diam saja dan menyuruh Kae-in tidur saja. Kae-in mencegah ia memberi semangat dan bercerita tentang makanan yang bisa memberikan energi. Jin-ho tersenyum mendengarnya.
Di dalam kamar setelah diberi semangat Kae-in, Jin-ho memberanikan diri mengirim sms pada Do-bin. Keesokan harinya Jin-ho pergi ke villa Do-bin. Do-bin senang melihat Jin-ho datang kesana. Jin-ho lalu menemani Do-bin memancing di tepi danau. Do-bin meminta Jin-ho untuk mancing bersamanya. Do-bin heran sejak datang Jin-ho tidak mengajaknya berbicara tentang proyek museum padahal ia tahu karena masalah proyek itu Jin-ho datang mencarinya. Jin-ho berkata kalau ia sekarang hanya ingin menjadi teman Do-bin saja. Do-bin heran, ia bertanya apa Jin-ho sedang melakukan pengakuan (tentang gay nya). Do-bin lalu berkata kalau ia juga akan melakukan pengakuan. Do-bin bercerita kalau dulu ia jatuh cinta dengan kakak kelasnya. Jin-ho berkata kalau ia juga. Do-bin bertanya bagaiman cerita cinta Jin-ho. Jin-ho tidak bercerita tapi ia berkata kalau ada banyak yang harus dilakukan sebelum jatuh cinta. Do-bin minta maaf kemudian ia bercerita tentang kisah cintanya, ia berkata kalau ia jatuh cinta karena sering ketemu di perpustakaan. Masa pacaran mereka sangat singkat karena mereka lalu harus putus. Jin-ho bertanya kenapa sampai putus. Do-bin berkata karena cintanya seperti racun, sehingga mereka harus putus. Ia bercerita kalau saputangan yang ia pinjamkan dulu pada Jin-ho adalah kenangan terakhir dari pacarnya. Jin-ho jadi heran kenapa hadiah begitu penting dipinjamkan kepadanya. Do-bin berkata kalau ia hanya ingin melakukannya saja dan mungkin karena ia ingin jadi teman Jin-ho. Jin-ho hanya diam dan tersenyum mendengranya. Do-bin memandang Jin-ho penuh arti.
Pagi harinya Tae-hoon heran melihat Sang-joon memakai kaos kembaran yang ia berikan untuk Jin-ho. Sang-joon bertanya memangnya kenapa jika ia memakai kaos Jin-ho. Tae-hoon tidak terima, begitu Jin-ho datang ia langsung merajuk. Jin-ho dengan dingin berkata agar Tae-hoon melakukan hal yang berguna dari pada meributkan hal itu. Tae-hoon heran kenapa Jin-ho bersikap dingin kepadanya. Sang-joon juga heran tapi ia berkata itu karena Tae-hoon meributkan hal kecil. Tae-hoon tetap tak terima Sang-joon memakai pakaian Jin-ho, Sang-joon berkata kalau ia dan Jin-ho ada hubungan baik dan punya rahasia bersama.
Di gedung Meiseu. Do-bin telah kembali kerja. Kae-in menemuinya dan bertanya kenapa kemarin ia tidak datang. Do-bin berkata agar Kae-in tidak usah khawatir dan fokus pada kerjaannya saja karena segala pekerjaan Kae-in adalah tanggungjawab Kae-in jadi tidak perlu tanya-tanyaDo-bin lagi. Kae-in bertanya apa karena masalah proyek museum maka Do-bin tidak datang kemarin. Do-bin tersenyum dan bertanya apa Kae-in juga khawatir tentang Jin-ho. Kae-in mengiyakan. Do-bin berkata kalau ia akan melakukan segalanya untuk proyek museum kali ini. Jika ia berhasil ia akan tinggal tapi jika tidak ia akan pergi dari sana. Kae-in jadi tidak enak. Do-bin berkata kalau ia datang sekarang juga ingin mengucapkan selamat tinggal sebelum nanti terlambat mengucapkannya. Do-bin pamit pergi. Tiba-tiba Kae-in berteriak “Tuan Choi Do-bin, semangat!!”. Kae-in lalu mau menelepon Jin-ho tapi tak jadi.
Di ruang Jin-ho, Kae-in terus marah pada Sang-joon. Jin-ho tanya sebenarnya ada apa. Sang-joon menjelasakan bahwa telah terjadi kesalahpahaman antara hubungannya dengan Tae-hoon. “Kau tahu hatiku hanya untukmu” kata Sang-joon merayu Jin-hoo. Jin-ho segera menjauhkan tangan Sang-joon. Sang-joon berkata kalau Jin-ho tidak usah malu di depan Kae-in. Jin-ho kesal dan menyuruh Sang-joon keluar. Kae-in berkata kalau ia marah karena Sang-joon mengkhianati Jin-ho, dan jika Sang-joon wanita ia tidak akan mengampuninya. Jin-ho lalu berbicara serius mau mengatakan sebenaranya. “Telah terjadi kesalahpahaman sejak awal tetang hubungan kami” kata Jin-ho. “Apa?” kata Kae-in bingung. Jin-ho diam sejenak dan berkata “Aku tidak gay”. Tapi tiba-tiba Sang-joon masuk lagi dan berkata kalau ia dan Tae-hoon tidak ada hubungan apa-apa. Jin-ho mengusir Sang-joon lagi. Kae-in tidak mendengar ucapan Jin-ho tadi, dan tiba-tiba ia ingat tujuannya datang kesana adalah untuk mengatakan kalau masalah proyek museum telah diselesaikan dengan lancar oleh Do-bin, jadi Jin-ho tak perlu khawatir lagi. Jin-ho tersenyum dan tanya “Jadi hanya untuk ini kau datang kesini”. Kae-in berkata kalau Do-bin telah berjudi dengan dirinya sendiri (membiarkan semua orang bersaing memenangi tander) jadi Jin-ho tak perlu kecil hati karena ia masih ada kesempatan. Jin-ho tersenyum lagi dan berkata bukankah bisa mengatakan itu ditelepon saja. Kae-in berkata kalau ingin melihat senyum Jin-ho secara langsung makanya datang kesana.
0 comments:
Post a Comment