Sinopsis Personal Taste - Episode 11

Written by Yui Shinji 0 comments Posted in:

Kae-in sedang melakukan pengakuan pada Chang-ryul dan tiba-tiba Jin-ho datang menarik tangannya, lalu berkata “Game over” dan menciumnya. Chang-ryul dan In-hae yang ada disana tak percaya melihat kejadian itu. Chang-ryul kemudian segera mimasahkan meraka, ia tanya apa yang dilakukan Jin-ho dengan calon pacarnya dan ia mengingatkan Jin-ho tentang pembicaraan mereka berdua kemarin. Kae-in masih bingung dengan kejadian itu. “Saya juga ingin melakukan itu, tapi saya tak dapat lakukan” kata Jin-ho. “Apa?” kata Chang-ryul tak percaya. “Mulai sekarang, saya mau dengan identitas sebagai lelaki berpacaran dengan wanita ini” kata Jin-ho. Kae-in kaget mendengarnya. “Jeon Jin-ho!” kata Chang-ryul kesal. In-hae kaget tak percaya mendengar pengakuan Jin-ho. “Jin-ho apa maksud semua ini? Kamu kenapa bisa dengan identitas sebagai lelaki” tanya Kae-in bingung. Jin-ho menghampiri Kae-in dan menjelaskan. “Kae-in, saya bukan gay”. Kae-in tambah bingung. “Kalau begitu!”. “Sangat maaf, sekarang baru beritahu kamu” kata Jin-ho. Kae-in mulai mengerti bahwa itu kenyataan. “Walaupun terlambat. Tapi, kamu bisa maafkan saya kan?”tanya Jin-ho lagi. Kae-in sedih mungkin juga lega ia memukul-mukul bahu Jin-ho sebagai tanda kekesalannya kerena dibohongi. Tapi pukulan Kae-in pelan dan seperti tak niat sehingga Jin-ho bisa menghentikannya kemudian memeluk Kae-in.

Chang-ryul pergi minum-minum bersama In-hae. ia bertekat melepaskan Kae-in. Tapi In-hae berkata bagaimana bisa Chang-ryul menyerah begitu saja, ia menyuruh Chang-ryul pergi mencari Kae-in dan berlutut memohon untuk kembali. Tapi Chang-ryul sepertinya sudah benar-benar ingin merelakan Kae-in, ia berkata kalau mereka berdua tadi terlihat saling mencintai, jadi tak ada harapan lagi ia bisa kembali dengan Kae-in. In-hae tak peduli, ia mengingatkan lagi kalau Chang-ryul pernah berkata kalau ia tak bisa hidup tampa Kae-in jadi seharusnya ia berusah merebut Kae-in lagi. Chang-ryul tetap tak mau. In-hae tanya apa alasannya. Chang-ryul berkata karena ia mencintai Kae-in dan ia selama ini telah membuat Kae-in menderita, jadi jika ia sekarang bersama Jin-ho bisa tersenyum maka sudah seharusnya ia melepaskannya. In-hae tertawa mendengar alasan itu. “Kamu kira itu adalah cinta?”. “Kamu kira itu adalah cinta? Jangan salah, Han Chang-ryul. Itu hanyalah alasan untuk menutupi kelemahanmu saja. Kamu hanya bisa disini minum-minum untuk menghilangan pikiran tentangnya. Tapi aku mulai sekarang akan melakukan tindakan” kata In-hae kemudain berdiri hendak pergi. Chang-ryul menariknya duduk kembali. “Aku mohon kamu hentikan ini saja. Kim In-hae, kamu berbuat begini hanya akan membuat dirimu makin parah saja”. "Dalam kasus cinta hanya ada satu ketepatan saja. Yaitu jika saya tidak dapat memilikinya, maka orang lain jangan harap memilikinya”.

Dalam perjalan pulang Kae-in hanya diam saja di mobil. Jin-ho terlihat lega karena telah berhasil mengatakan hal yang sebenarnya, tapi melihat Kae-in begitu kecewa. Ia minta maaf lagi dan berkata kalau ia tahu ia salah dan pantas mati. Tapi Kae-in tetap diam saja. “Apa kamu lain hari pun tak ingin bertemu dengan saya lagi? Kamu tak tahu saya juga melewati ini dengan sangat kacau” kata Jin-ho memancing. Kae-in diam saja dan mengingat pembicaraan mereka setelah kejadian ciuman itu disuatu tempat.

Kae-in saat itu berkata bahwa ia selalu berharap Jin-ho adalah laki-laki sesungguhnya, tapi sekarang ia merasa sangat idiot setelah mengatahui kebenarannya. Jin-ho saat itu berkata kalau ia benar-benar tidak ada keyakinan hati untuk mengungkapkan kebenarannya pada Kae-in. Ia juga berkata bahwa ia takut Kae-in masih suka dengan Chang-ryul makanya memutuskan balas dendam. Kae-in berkata karena ia menyukai Jin-ho makanya ada keberanian untuk melakukan balas dendam. Jin-ho berkata kalau ia baru mengetahuinya saat melihat Kae-in berbicara yang sesungguhnya pada Chang-ryul. Kae-in berkata Jin-ho idiot karena baru mengerti perasaannya padahal ia sudah rela berpura-pura jadi laki-laki agar bisa Jin-ho melihat kesungguhan hatinya. Ia juga berkata bahwa walaupun ia ada sedikit idiot ia merasa yakin jika bersama Jin-ho dan bahkan ia rela melepasakan identitas wanitanya agar bisa terus menemaninya. Kae-in jadi sedih, Jin-ho minta maaf karenanya. Kae-in saat itu berkata kalau ia tak mau memaafkan Jin-ho.

Kembali kesaat ini Jin-ho terlihat sedih melihat Kae-in masih tak mau memaafannya. Tapi dalam hati Kae-in bergumam “Laporan cuaca Park Kae-in besok: terus berharap dia dengan identitas ini sebagai teman terus berada tinggal disiiku. Hari ini dia malah berharap kita bisa berhubungan sebagai teman wanita dan lelaki dan juga minta maaf kepada saya. Walapun terharu dan mengeluarkan air mata untuknya, tapi hari ini jangan memaafkan dia dulu. Tapi mulai besok ,tak peduli cuaca sedang bagaimana saya tidak akan takut lagi”.

Saat sudah sampai di depan Sang Go-jae. Kae-in dengan dingin menyuh Jin-ho pulang saja karena ia tak ingin melihat Jin-ho lagi. Jin-ho tak percaya Kae-in berkata seperti itu, ia lalu menyusul Kae-in masuk kedalam. “Kae-in aku tahu kamu merasa dikhianati jadi tak ingin memaafkan saya. Tapi saya baru pertama kali mengatakan hal itu pada orang lain jadi tak tahu harus bagaimana menyelesaikannya. Kamu anggap saya kalah saja, dan sedikit memaafkan saya”. “Kamu juga bukan pertama kali seperti ini”. Jin-ho bingung mendengarnya. “Jin-ho kamu.. kamu bukankah pernah mencintai orang lain, iya kan? Saat bertemu dengan Eun-soo, bukankah dengan orang itu kau juga mencintainya?”. “Rupanya kamu lagi keberatan dengan Eun-soo”. “Kalau begitu saya akan jelaskan pada kamu. Saya dan Eun-soo...”. tiba-tiba Hye-mi dalam keadaan mabuk datang bersama Tae-hoon. “Oppa kenapa bukan saya?”. “Tae-hoon, kamu jagakan dia!”. Kae-in tak suka melihat Hye-mi terus mendekati Jin-ho. “Saya tanya kamu, kenapa bukan saya? Saya lebih muda dan lebih cantik dibandingkan wanita itu. Memang benar oppa tak mencintai saya, tapi mengapa?”. “Hye-mi!”. Kae-in tak tahan ia beranjak menuju kamarnya. “Kae-in..” kata Jin-ho mencoba mencegah. Hye-mi menghalangi dan berkata “Kenapa saya tidak bisa, tapi wanita itu bisa?”. “Dalam mata saya kecuali dia, mata saya tak bisa melihat wanita manapun” teriak Jin-ho mulai kesal menghadapi Hye-mi. Kae-in berhenti karena kaget mendengar perkataan Jin-ho, tapi kemudain masuk kamarnya dan didalam kamar kae-in bergumam “Jika langsung memaafkannya. Park Kae-in kamu benar-benar tak ada harga diri” lalu Kae-in tersenyum kecil. Jin-ho menyeret Hye-mi dan Tae-hoon keluar. Hye-mi kesal tapi Jin-ho tak peduli. Jin-ho kemudian memarahi Tae-hoon yang membiarkan Hye-mi datang kesana. Tae-hoon berkata ia tak bisa menahan karena Hye-mi sedang mabuk dan terus menangis.

Jin-ho akhirnya mengantar Hye-mi pulang kerumahnya. Ibu Jin-ho sudah menenangkan Hye-mi hingga ia tertidur. Kemudian ibu Jin-ho berkata pada Jin-ho agar ia memaklumi kelakuan Hye-mi yang kekanak-kanakan. Jin-ho berkata lebih baik luka sedikit sekarang dari pada luka berkepanjangn nanti, kemudian ia tanya pada ibunya apakah ibunya tahu Tae-hoo begitu mencintai Hye-mi. Jadi ia berharap ibunya tak mengkhawatirkan Hye-mi lagi.
Sementara itu Kae-in kesal karena pergi tanpa memberitahunya. Ia mondar-mandir menunggu Jin-ho. “Tidak pulang iyakah?” kata Kae-in kesal. Sementara itu di tempat lain Jin-ho sedang pamitan pada ibunya. Ibunya memperingatkan jika Jin-ho terus tinggal di rumah Kae-in tanpa ikatan pernikahan akan sangat tidak enak jika diomongkan orang lain.
Jin-ho tetap beralasan karena ada proyek bersama Kae-in makanya putuskan untuk tinggal bersama dengannya agar lebih leluasa. Ibunya tanya apa Kae-in juga seorang arsitek. Jin-ho berkata bukan, dan menjelasakan kalau Kae-in adalah Designer furniture yang sekarang punya tugas penting mendesain salah satu proyeknya. Ibunya sedikit tak percaya. Jin-ho lalu mengalihkan pembicaraan dan minta ibunya menyelesaikan masalah tetang Hye-mi karena nanti bisa mengganggu hubungannya dengan Kae-in. Ia kemudian pamit pulang lagi.

Di Sang Go-jae Kae-in telah mengambil boneka Jin-honya, ia menggantung boneka itu kemudian dipukullinya sambil mengomel. “Kamu, Jin-ho. Kamu baik-baik sadarkan diri. Kamu sebenarnya bagaiman terhadap wanita? Membuat mereka terus terseyum terhadapmu. Kamu ini lelaki jahat!”.

“Kamu sekarang lagi melakukan apa?” kata Jin-ho tiba-tiba mengagetkan Kae-in. “Kenapa boneka ini bernama Jin-ho?” lanjut Jin-ho. Kae-in panik, ia langsung menurunkan bonekanya dan hendak pergi. “Memukul boneka ini, apa membuat hatimu jadi agak baikkan? Jangan begini, lebih baik kamu memukuli aku saja” kata Jin-ho sambil menarik tangan Kae-in agar tidak pergi. Kae-in tidak enak, ia tetap mau pergi. Tapi Jin-ho menghalangi lagi dan berkata “Saya ini orang jahat, jadi lebih baik kamu pukul saya saja”. Jin-ho yang masih memegang tangan Kae-in lalu menarik tangan Kae-in untuk memukuli dirinya. “Benar.. benar.. lepaskan!” kata Kae-in menarik tangannya. “Kamu dengan Hye-mi ada hubungan apa?” tanya Kae-in tiba-tiba. Jin-ho kaget, Kae-in langsung menjelaskan maksudnya “Bukan begitu tadi Hye-mi bilang ia adalah calon istri kamu. Itu pasti ada hal yang disembunyikan iya kan?”. “Dari umur 7 tahun Hye-mi sudah begitu” kata Jin-ho. “Ha.. mulai dari umur 7 tahun sudah suka kamu?” kata Kae-in kaget. “Kamu benar-benar membuat banyak wanita menangis” lanjut Kae-in. “Kamu lagi cemburukah?” kata Jin-ho sambil tersenyum. “Siapa yang cemburu?” kata Kae-in gengsi. “Saya lihat kamu memang benar-benar lagi cemburu” kata Jin-ho sambil tersenyum lagi. “Tidak cemburu! Saya benar-benar tak mengerti kamu. Saya kira seharusnya kamu menjadi orang yang tegas. Hye-mi sudah mengejarmu dari umur 7 tahun. Kamu mana bisa begitu terhadap dia? Hal ini tidak ada kaitannya dengan saya, kamu suka bagaimana ya terserah kamu”. Jin-ho hanya senyum-senyum kecil melihat reaksi Kae-in yang cemburu. “Orang yang begitu kejamkah menurutmu, yang mengatakan hal sebenarnya? Saya memang kejam tidak memeprdulikan perasaan ornag lain bagaimana. Juga tidak ada waktu memperdulikan hal itu. Jadi saya baru bisa membuatmu sedih” kata Jin-ho menjelaskan.

Kae-in jadi tak enak, ia lelu mencoba menayakan sikap kejam yang bagaimana Jin-ho tunjukan saat berhubungan dengan Eun-soo. “Sebelum dia pergi kuliah, dia bilang pada saya jika saya suruh dia tinggal maka dia akan tinggal. Tapi saya tidak menyuruhnya tinggal” jelas Jin-ho. Kae-in kaget mendengarnya, ia tanya kenapa alasannya karena Eun-soo adalah orang yang bisa menarik perhatian Jin-ho begitu besar dulu. “Saya tak yakin dia adalah orang yang begitu berarti dalam hidup saya” jelas Jin-ho lagi. “Kalo begitu saya bagimu apa?” tanya Kae-in. “Walaupun kehidupan dimulai kembali, kamu adalah orang yang tak ku inginkan hilang dari kehidupan saya”. Kae-in jadi salah tingkah mendengarnya, ia lalu mengalihkan pembicaraan dan bertanya apa Jin-ho tidak lapar. Kae-in kemudian mau pergi membuatan mie, tapi Jin-ho mencegah. Dia menarik tubuh Kae-in kemudian memeluknya erat. “Jika merasa malu kamu selalu menanyakan tentang makanan, dasar wanita aneh” kata Jin-ho sambil memeluk Kae-in. “Aku mencintaimu” lanjut Jin-ho. Kae-in senang mendengarnya dan mereka saling berpelukan malam itu.

Pagi harinya Jin-ho yang sedang senang berbuat baik pada para karyawannya. Semua karyawan heran melihat sikap Jin-ho itu. Jin-ho beralasan hal itu sebagai rasa terimakasih karena mereka telah bekerja keras selama ini, ia juga berkata kalau ia mencintai para karyawannya. Semua karyawan langsung bubar begitu mendengarnya.

Sementara itu di Sang Go-jae Kae-in dengan malu-malu menceritakan kejadian kemarin pada Young-soon. Young-soon kaget setengah mati mendengarnya. Ia memeringatakan Kae-in akan mati jika berbohong kepadanya. Kae-in berkata bahwa itu kenyataannya. Jin-ho kemarin mengaku kalau dia bukan gay dan menyatakan kalau ia mau berhubungan dengannya seperti hubungan pria dan wanita apalagi kemarin Jin-ho menciumnya didepan In-hae dan Chang-ryul. Young-soon senang sekali mendengarnya, tapi kemudain ia ingat kalau cerita itu benar maka Sang-joon telah membohonginya.

Young-soon langsung membuat janji bertemu dengan Sang-joon. Saat Sang-joon sudah tiba, Young-soon dengan muka serius bertanya apa Sang-joo bukan gay. Mulanya Sang-joo mengelak, tapi melihat muka Young-soon yang serius akhirnya ia mengakuinya. Young-soon langsung marah dan mau memukul Sang-joon, ia merasa malu karena selama ini ia menganggap Sang-joon gay makanya ia meceritakan rahasia yang bahkan tak bisa dia ceritakan pada Kae-in (apa ya???). Sang-joon berkata agar Young-soon tak perlu malu terhadap dirinya. Young-soon marah dan minta merek jangan bertemu lagi. Sang-joon heran, ia tanya darimana Young-soon tahu kebenaran itu. “Apa karena saya yang berpura-pura gay masih memiliki daya tari laki-laki?” tanya Sang-joo. “Bicara apa kau? Benar-benar ingin aku menghajarmu ya? Kae-in dan Jin-ho sedang berpacaran” kata Young-soon. “Apa? Siapa berpcaran dengan siapa?” tanya Sang-joon kaget.

Begitu sampai di kantor Sang-joon langsung mencari Jin-ho. “Kamu..”. “Apa?” kta Jin-ho bingung. "Kamu dan Kae-in??”. “Wah kabarnya sangat cepat juga ya?” kata Jin-ho senang. “Apa? Kalau begitu ini adalah kenyataan”. “Ya.. kenyataan” kata Jin-ho sambil senyum lebar. “Kalau begitu bagimana ini? Bagaiman dengan ketua Choi?” kata Sang-joo khawatir. “Dia tahu kamu adalah gay, makanya begitu mendukungmu” kata Shang-joon lagi. “Aku akan katakan yang sebenarnya padanya” kata Jin-ho. “Kamu jangan terburu-buru, ini adalah masalah yang sangat serius. Jika ketua Choi marah lalu membatalkan kamu, kita harus bagaimana? Kamu apa benar begitu mencintai Kae-in?” kata Sang-joon. Jin-ho mengangguk senang.

Sementara itu di gedung Maiseu, Do-bin menyerahkan tiket ke pulau Jeju buat Kae-in. Ia ingin Kae-in membantunya dekat lagi dengan Jin-ho dan berharap kali ini Kae-in berakting dengan baik. Kae-in tak enak dan mau mencoba menjelaskan. Tapi tiba-tiba In-hae datang memberitahu kalau Do-bin harus pergi kebandara sekarang. Kae-in bingung harus bersikap bagaimana.

Sang-joon yang merasa khawatir mulai berpikiran aneh-anah. Ia menjadi senang Jin-ho jadian dengan Kae-in, karena itu berarti Jin-ho akan menjadi menantu arsitek terkenal Korea. Jin-ho jadi pusing memikirkannya. “Hyung, kamu jangan katakan sembarangan”. “Saya mengerti. Saya mengerti. Kamu bukan demi hal itu, tapi saya sekarang merasa tenang”. “Jika kamu begini lagi, saya pergi ke gedung Meiseu saja menjelaskan yang sebenarnya” kata Jin-ho. “Baiklah, aku akan tutup mulut. Kamu ini benar-benar..” kata Sang-joon. “Keluar” teriak Jin-ho. Sang-joo keluar sambil senyum-senyum terus. “Saya mau gila” gumam Jin-ho sendiri.

Di suatu apartement ayah Chang-ryul marah-marah sambil membangunkan Chang-ryul. “Bocah ini kamu apakah tak mau hidup lagi”. Ayah Chang-ryul terus marah-marah saat Chang-ryul mulai bangun, ia juga mengancam akan mengirim Chang-ryul ke Cina. “Ya, saya akan lakukan” kata Chang-ryul setuju dikirim ke Cina. Ayah Chang-ryul dan asisten Kim kaget mendengarnya. Ayah Chang-ryul langsung mau menghajar Chang-ryul tapi dihalangi oleh asisten Kim. “Saya tidak ada kepercayaan diri lagi tinggal disini. Jadi saya pergi saja ke Cina” kata Chang-ryul menjelaskan.

Jin-ho pergi ke gedung Meiseu ingin bertemu dengan Do-bin. Tapi tak sengaja ia berpapasan dengan In-hae. In-hae menyindir Jin-ho punya keberanian besar untuk menyatakan cintanya. Jin-ho dengan dingin mengucapkan terimakasih. In-hae bertanya apa yang membuat Kae-in lebih baik dan Jin-ho berani membuat ketua Choi kecewa. “Kae-in ada begitu mulia kah?”. “Ya” jawab Jin-ho tegas. In-ha jadi kesal mendengarnaya. Jin-ho lalu pamit mau bertemu Do-bin. In-hae menyindir lagi dengan berkata memang seharusnya Jin-ho mengatakan yang sebenarnya pada Do-bin, tapi sayang Do-bin sedang pergi ke Jepang. Jin-ho langsung pamit pulang. In-hae tiba-tiba memberikan undangan rapat di pulau Jeju oleh perusahaannya. Jin-ho menerimanya. In-hae memberitahu bahwa pulau Jeju adalah tempat kesukaan Do-bin jadi ia harap Jin-ho tidak menjadikan tempat itu menjadi tempat yang menyedihkan bagi Do-bin. Jin-ho tak peduli dan pamit pergi lagi. “Kenapa Kae-in?” tanya In-hae tiba-tiba. “Saya tak dapat dibandingkan dengan dia kah? Membujuk ketua Choi yang kecewa dan membuat pengaruh pada juri saya lebih bisa dibiandingkan dengan dia” lanjut In-hae. Jin-ho berbalik sambil tersenyum dan bilang “Yang saya cari bukan teman dalam bisnis. Melainkan orang yang dapat mendampingi saya dalam kehidupan ini”. “kamu kira Kae-in bisa seperti itu?”. “Kenapa kamu membuang waktu mengurusi hal ini?”. In-hae kesal mendengarnya. “Kemarin kamu melihat saya bersama Kae-in saling mengungkapkan cinta kan? kenapa kamu tak menyerah saja?”. “Ini mungkin karena saya tidak rela kalah”. “Kamu memang orang yang sedikitpun tak punya kepedulian dengan kehidupan dirimu sendiri ya!”. Kemudian Jin-ho pergi, In-hae terlihat begitu kesal mendengarnya.

Jin-ho menemui Kae-in di ruang kerjanya. Kae-in telihat senang melihat Jin-ho di sana. Jin-ho mengajak Kae-in pergi kencan. Kae-in bercanda dengan berlagak jual mahal kemudian berkata sebenarnya ia sedang sibuk, tapi jika Jin-ho memohon ia akan mempertimbangkannya. Jin-ho tertawa dan berkata sejak kapan ia memohon. Kae-in senyum dan berkata ia akan segera membereskan pekerjaannya dan segera siap untuk pergi. Sambil berdiri Kae-in menyindir bukankah Jin-ho pernah memohon padanya saat di depan ibunya kemarin. Jin-ho mengelak dan berkata kalau ia tiba-tiba ingat ada janji lain dan menyuruh Kae-in menyelesaikan pekerajaannya saja. Kae-in langsung mengalah dan mengakui bahwa ia hanya ingin bercanda. Jin-ho tetap mau pergi sambil senyum-senyum karena berhasil mengerjai Kae-in. Kae-in berusaha mencegah, tapi tiba-tiba Jin-ho mendapat telepon dari ibunya.
Ternyata ibu Jin-ho mau bertemu Jin-ho dengan Kae-in. Kae-in sangat cemas dengan penampilannya karena ini pertemuan pertama dengan Ibu Jin-ho secara resmi. Jin-ho berkata bahwa ibunya bukan orang yang menilai orang lain dari penampilannya. Kae-in tetap cemas, ia takut ibu Jin-ho menganggapnya tak sepandan untuk anaknya. Jin-ho hanya senyum, ia lalu berkata kalau ibunya juga akan bilang suka jika ia mengatakan suka. “Benarkah?”. “Ya. Ia pasti akan menganggapmu sebagai putrinya juga” kata Jin-ho menenangkan. Kae-in mulai lega, tapi tiba-tiba ia meliha ibunya Jin-ho datang. Kae-in langsung reflek berdiri memberi hormat dengan tegang. Kemudian mereka bertiga duuduk bersama. “Nona Park Kae-in, iya kan?”. “Ya”. “Hari itu terlalu kacau, jadi tidak bicang-bincang dengan baik dengan kamu”. “Tidak, sayalah yang tidak baik. Seharusnya sejak awal pergi bertemu dengan anda”. “Saya percaya Jin-ho. Saya yakin pasangan yang dicari Jin-ho adalah yang unggul”. “Saya masih banyak kekurangan” kata Kae-in malu-malu. “Kamu ini! Seharusnya merasa bangga!” kata Jin-ho memperingatkan. “Dia ini begitu jujur” kata Jin-ho pada ibunya. “Kelihatannya Jin-ho sangat menyukai dia” kata Ibu Jin-ho pada Jin-ho. “Ini pertama kali melihatmu didepan saya masih membantu orang lain berbicara” lanjut ibunya. “Jika saya tidak membantunya, dia tidak akan dapat saya”. “Saya ini bukan orang yang begitu pelitkan? Walaupun bukan pelit, tapi saya ada sedikit kecemasan”. “Apa?” kata kae-in kaget. “Proyek yang sekarang kalian kerjakan. Walaupun kalian katakan tidak ada cara lain selain harus bersama”. “Proyek?” kata Kae-in kaget. Jin-ho langsung berusaha menjelaskan. “Kita sekarang bukannya sedang bekerja sama menangani proyek gedung Meiseu kan?”. Kae-in bingung, Jin-ho memberi tanda agar Kae-in mengikuti saja cerita karangannya. Kae-in akhirnya mengangguk membenarkannya. “Jadi kalian benar-benar bekerja sama? Ini saya bisa mengerti, tapi harap kamu janji pada saya satu hal”. “Apa?” kata Kae-in cemas. “Sebelum menikah hamil dulu. Saya harap ini tidak terjadi” kata ibu Jin-ho. Kae-in dan Jin-ho kaget mendengarnya.

Saat pulang ke Sang Go-jae, Kae-in masih memikirkan perkataan ibu Jin-ho. Ia akhirnya tiba-tiba menyuruh Jin-ho pulang kerumahnya saja. “Apa?” kata Jin-ho kaget. “Kamu kenapa harus tinggal disini dan berbohong pada ibumu? Sebelum menikah hamil!, saya dengan apa harus mendengar perkataan seperti ini?” kata Kae-in kesal. “Kamu jangan terlalu memikirkannya. Saya dengan satu jari pun tak ada niat mau menyentuhmu. Jadi kamu jangan salah paham”. “Hanya kamu yang memikirkan begini. Apa gunanya? Ibu tetap saja khawatir”. “Kalau begitu saya akan pergi saja” kata Jin-ho mengancam. “Pergilah”. “Kamu ini benar-benar sangat dingin. Saya benar-benar akan pergi nih”. “Pergilah” kata Kae-in dingin.

Jin-ho kemudian memberesan barang-barang dikamarnya. Kae-in mengawasinya. “Mau saya bantu?”. “Tak perlu” kata Jin-ho kesal. “Benar juga ini adalah masalahmu sendiri jadi harus kamu selesaikan sendiri” kata Kae-in menggoda. “Saya mulanya sudah begini” kata Jin-ho. Kae-in senyum dan tanya “Tak ingin pergi ya!”. “Kenapa tak ingin pergi? Tidak ada kamu, saya malah bahagia”. Kae-in menggoda lagi dengan berkata kalau sebaiknya mereka kencan seminggu sekali saja. Jin-ho kaget mendengarnya. Kae-in berkata ia sedang sibuk akhir-akhir ini jadi cukup kencan sekali seminggu saja. “Saya juga dengan sibuk dengan proyek baru. Kalau begitu bagaimana kalau kita sebulan sekali bertemu saja?” kata Jin-ho balas menggoda. Tapi Kae-in malah langsung menggangguk menyetujuinya, dan berkata sebaiknya Jin-ho segera beberes dan lekas pergi karena ia sedang banyak kerjaan. Kae-in pergi, Jin-ho kesal godaannya tak berhasil. “Tak bisa begini” kata Jin-ho.

Jin-ho selesai berberes, ia pamit pada Kae-in dari luar kamar kerja Kae-in. Kae-in yang sedang bekerja dari dalam dengan enteng mempersilahkannya. “Tidak pergi mengantar keluar sayakah?” kata Jin-ho kesal. “Saya sangat sibuk, tak ada waktu untuk itu”. “Kalau begitu kamu rajin bekerja saja, saya pergi” kata Jin-ho memancing. “Selamat jalan”. “Benar. Saya pergi nih” kata Jin-ho. Didalam Kae-in kesal “Kamu buka pintu sendiri tak bisakah? Benar-benar sangat keterlaluan”. Jin-ho kesal pergi menuju mobilnya. “Park Kae-in, kau benar-benar bodoh. Jika saya pulang kerumah bagaimana bisa keluar lagi” gumam Jin-ho sendiri. Kae-in tak bisa konsentrasi kerja, ia kesal karena Jin-ho menuruti saja perintahnya untuk keluar dari rumahnya. Ternyata Jin-ho tidak pergi, ia tinggal di dalam mobilnya. Ia mencoba membuat alasan-alasan agar bisa kembali ke Sang Go-jae.

Tiba-tiba Kae-in mendengar pintu gerbang rumahnya terbuka. Ia kaget sekaligus senang mendengarnya karena ia menganggap itu Jin-ho. Dan benar Jin-ho kembali ke dalam. Kae-in lalu keluar dengan sikap sok dingin, ia tanya kenapa Jin-ho kembali. Jin-ho berkata kalau laptopnya ketinggalan. “Barang yang begitu penting dan dipakai tiap hari kenapa sampai keluapaan tidak di bawa?” sindir Kae-in. “Saya juga ada saat tidak hati-hati” kata Jin-ho. Jin-ho memberekan laptonya dengan pelan-pelan, Kae-in menggoda agar Jin-ho segera memberekan laptopnya dan pergi dari sana. “Saya bukannya sedang memberesakan” teriak Jin-ho kesal.

Setelah selesai beres-beres dan mau pergi, Kae-in memperingatkan agar Jin-ho lihat lagi apa ada barang yang ketinggalan tidak, agar ia tidak kembali lagi. “Saya sudah kemas semuanya” kata Jin-ho kesal. “Kalau begitu kamu baik-baik di jalan, ya!” kata Kae-in. “Kamu harusnya yang baik-baik”. “Huah.. sangat ngantuk” kata Kae-in pura-pura ngantuk dan masuk kamarnya. ‘Lihat.. mengartar pergi pun tidak “kata Jin-ho kesal. Jin-ho pergi, Kae-in di dalam mengupingnya. Ia khawatir Jin-ho kali ini benar-benar pergi, kemudaian ia pura-pura sakit. Dan benar Jin-ho langsung khawatir dan masuk melihat keadaan Kae-in. “Ada apa?”. “Saya tadi terjatuh, sepertinya kaki saya terluka”. “Mana, disinikah?” kata Jin-ho sambil memegang kaki Kae-in yang sakit. Tapi Kae-in malah tertawa geli karena kakinya dipegang. Jin-ho memandang Kae-in curiga. Kae-in sadar dan pura-pura lagi dan menunjuk bagian kakinya yang sakit. Jin-ho melihat bekas luka lama disana dan tanya itu luka karena apa. Kae-in berkata mungkin karena jatuh saat kecil tapi ia sudah lupa kejadiannya bagaimana. Jin-ho mengelus luka itu dan bilang “Pasti sangat sakit ya?”. Tapi lagi-lagi Kae-in geli saat kakinya dipegang Jin-ho. Jin-ho akhirnya sadar kalau Kae-in hanya berbohong. Kae-in menyangkal dan berakta kalau ia benar-benar sakit. Jin-ho tak percaya dan berkata kalau akting Kae-in buruk sekali. Kae-in kesal dan menghampiri Jin-ho. Mereka saling bertatapan dan tiba-tiba mereka jadi gugup karena terlalu dekat. Mereka lalu mau berciuman, tapi tiba-tiba ada suara Young-soon datang. Kae-in kaget dan khawatir jika Young-soon melihat Jin-ho dikamarnya. Ia minta Jin-ho sembunyi sementara ia menemui Young-soon.

Kae-in menghampiri Young-soon ia tanya kenapa Young-soon tiba-tiba datang malam-malam. Young-soon terlihat sedih. Kae-in tanya sebenaranya ada apa hingga Young-soon datang membawa koper besar-besar. Young-soon Cuma berkata bahwa Kae-in pasti tahu kenapa. “Bertengkar dengan oppa lagi kah?”. “Kae-in, saya bisakah tinggal sementar di sini?” tanya Young-soon memelas. Kae-in kaget mendengarnya tapi ia hanya bisa menganggu-angguk menyetujuinya. Sementara itu Jin-ho yang sedang sembunyi di dalam lemari kesal mendengarnya. “Orang ini kenapa mau tinggal di sini?”. Kae-in khawatir dengan Jin-ho, ia mencoba memeperingatkan Young-soon bahwa ia tidak bisa keluar rumah begitu saja karena masih ada anaknya di rumah. Young-soon tetap pada pendiriannya dan cerita permasalahannya. Kae-in bingung harus bertindak bagaimana.
Tiba-tiba Young-soon ingat, ia tanya apa Jin-ho ada di rumah karena ia takut Jin-ho mendengar curhatnya tadi. “Tidak, Jin-ho sedang tak ada sini” kata Kae-in. Young-soon jadi tenang, ia ingat Jin-ho bukan gay jadi pasti tak enak tinggal dengan Kae-in. Young-soon kemudian tanya apa Kae-in pernah melihat sesuatu yang tak boleh dilihat saat mereka tinggal bersama. “Kamu ini khawatiran apa, kami ingin melihat pun tak dapat melihat” gumam Kae-in pelan. “Apa?” tanya Young-soon. “Tidak. Tidak ada apa-apa” kata Kae-in. Young-soon kemudian mau masuk kamar Kae-in untuk membereskan baranganya dan menyuruh Kae-in menyiapan makanan untuknya. Kae-in langung cemas, ia mencoba menyuruh Young-soon mandi dulu sebelum masuk kamarnya. Young-soon heran tapi akhirnya menurutinya.

Kae-in masuk kekamarnya, ia bingung karen Jin-ho tak ada di sana. Ia lalu memanggil-manggil nama Jin-ho pelan, Jin-ho keluar dari lemari. Ia langsung menyuruh Kae-in mengantar Young-soon pulang. Kae-in berkata tak bisa karena Young-soon baru bertengkar dengan suaminya. “Kalau begitu kamu menyuruhku sembunyi dini sampai kapan?” tanya Jin-ho kesal. Kae-in menyuruh Jin-ho pelan dikit sambil menyuruh Jin-ho pergi diam-diam saja dari sana. “labih baik waktu menjadi gay, lebih lelasa” kata Jin-ho. Kae-in tersenyum dan menggoda “Begitu ingin bersama saya kah?”. Jin-ho hanya diam. Kae-in lalu mencium pipi Jin-ho, ttapi tepat saat Young-soon mau masuk kekamar mencari Kae-in. Young-soon kaget dan langsung keluar lagi, tapi ia masuk lagi minta maaf dan berkata agar merea berdua melanjutkan saja kemudian keluar.

Beberapa saat kemudian Kae-in dan Young-soon mengantar Jin-ho keluar. Young-soon merasa tidak enak karena dia Jin-ho harus pergi. Jin-ho berkata tidak apa-apa, kemudian ia pamit pergi. Tapi tiba-tiab Young-soon mencegah, ia ingin tanya sesuatu lagi. Young-soon bertanya sebenarnya sebelum ia datang Jin-ho mau melakukan apa dengan Kae-in. Jin-ho malu dan langsung pergi dar sana. Kae-in merasa kesal dengan Young-soon karena mengacau acaranya. Akhirnya malam itu Jin-ho menginap di kantornya.

Keesokan harinya In-hae menerima laporan proyek museum untuk diserahkan pada Do-bin. Si karyawan curhat sedikit dengan berkata proyek museum pasti sudah berjalan jika sejak awal di serahkan kepada Prof. Park. Mendengar nama Prof. Park, In-hae jadi penasaran. Ia bertanya sebenarnya ada alasan apa sampai harus berurusan dengan Prof. Park. Si karyawan menjelasakan karena ketua Choi menyukai desain-desain bangunan rancangan Prof. Park. In-hae mulai menyadari sesuatu saat itu.

Hye-mi dengan membawa koper tiba-tiba mengahampiri Kae-in di tempat kerja Kae-in. “Kamu benar ingin menikah dengan Oppa Jin-ho kah?” tanya Hye-mi langsung. Kae-in kaget mendengarnya dan hanya diam saja. “Tidak ada waktu lagi. Jangan menjawab bertele-tele. Saya masih mau pergi ke bandara” kata Hye-mi mendesak. “Mau pergi kah?” tanya Kae-in. “Kamu mau saya bagaiman menerima oppa Jin-ho menikah dengan wanita lain? Saya kenapa bisa datang ke Korea? Orang tua dan teman pun saya tak ada disini, hanya demi oppa Jin-ho seorang baru datang kesini”. “Maaf. Tidak sangka bisa separah ini”. "Maaf? Saya benar tidak tahu kenapa saya bisa dikalahkan orang seperti kamu? Saya benar-benar mau gila. Di dunia ini tidak ada orang lain yang disa mencintai oppa Jin-ho melebihi saya” .”Saya tak ada keyakinan diri mengatakan saya bisa lebih mencintai oppa Jin-ho melebihi kamu”. “Lihatlah!”. “Tapi saya mengira Jin-ho gay waktu itu, sehingga demi menyembunyikan itu melamar saya. Bagi saya jika Jin-ho ingin walaupun dia gay saya tetap akan bersedia menikah dengannya” kata Kae-in. Hye-mi kaget mendengarnya. “Ini lah saya, saya benar-benar ingin bersama dengan Jin-ho” kata Kae-in lagi. “Apa?” kata Hye-mi merasa kalah dan pergi dari sana.

Saat akan pulang tak sengaja Hye-mi berpapasan dengan In-hae. In-hae mengenali Hye-mi dan mengajaknya bicara di suatu tempat. In-hae dan Hye-mi pergi ke sebuah restoran (yang disana ada seorang pria duduk sendiri sedang minum kopi sambil baca novel siapa lagi kalo bukan appa Kim Nam Gil.. adegannya bisa dilihat di sini ). Hye-mi tanya apa In-hae ada rasa suka juga pada oppa Jin-ho-nya. In-hae tak menjawab. Hye-mi menyuruh In-hae melepaskan saja rasa suka itu karena sudah berakhir semua. Hye-mi lalu cerita tentang perkataan Kae-in tadi. In-hae berkata sebenarnya ia curiga Jin-ho pura-pura jadi gay untuk apa. Hye-mi berkata tidak tahu. In-hae memanasi dengan berkata mungkin itu cuma siasat Kae-in untuk mendapatkan Jin-ho. Hye-mi kaget dan heran mendengarnya. Ia kemudian tanya apa In-hae kenal Kae-in. In-hae bercerita kalau mereka adalah teman selama 10 tahun. In-hae kemudian tanya apa Hye-mi kenal dengan Han Chang-ryul. Hye-mi berfikir sebentar kemudain berkata “Anak orang yang mencelakakan ayah oppa Jin-ho meninggal. Kamu bagaimana tahu dia?”. “Dia adalah orang yang mau jadi suami saya”. “Benarkah?”. “Tapi saat hari pernikahan tiba, semuanya jadi sia-sia” . “Kenapa?”. “Kae-in, dia adalah dulunya teman wanita Chang-ryul. Jadi kami berdua sampai akhir tetap saja berpisah”. Hye-mi kaget mendengarnya. “Tapi setelah saya berpisah dengan Chang-ryul, tak lama kemudian dua orang ini bersama lagi”. “Kalu begitu Park Kae-in selingkuh kah?” kata Hye-mi kaget.

Saat Kae-in yang baru saja pulang, ia kaget melihat ayah Chang-ryul ada di depan Sang Go-jae sambil membawa banyak hadiah. Ayah Chang-ryul minta maaf atas tidakan anaknya. Kae-in jadi tidak enak. Ayah Chang-ryul menyuruh sopirnya membawa hadiah itu masuk kedalam Sang Go-jae. Tapi Kae-in mencoba menghalanginya dan berkata kalau ia dan Chang-ryul sebenarnya sudah berpisah dan selama ini mereka tak pernah benar-benar kembali berpacaran. Ayah Chang-ryul malah tertawa dan berkata ia mengerti kalau hubungan antara pria dan wanita pasti ada waktu yang tidak baik. Ia terus-terusan minta maaf atas nama anaknya dan menyuruh sopirnya membawa masuk hadiah tadi. Tapi tiba-tiba ia melihat ibu Jin-ho datang dengan Hye-mi. Ibu Jn-ho yang baru datang pun kaget meliaht ayah Chang-ryul ada disana. “Ibu” kata Kae-in kaget melihat ibu Jin-ho. Ayah Chang-ryul kaget mendengarnya. Kae-in menghampiri ibu Jin-ho dengan cemas. Ayah Chang-ryul bertanya kenapa ibu Jin-ho bisa datang kesana. Ibu Jin-ho hanya diam saja menahan kesal. “Saya tak menyangka kamu kenal orang ini yang mau menjadi menantu kami” kata ayah Chang-ryul lagi. “Menantu? Kalau begitu” kata Hye-mi. “Ibu” kata Kae-in mau menjelaskan. “Ibu, kamu memanggilnya ibu?” kata ayah Chang-ryul kaget. “Ibu, saya akan jelaskan pada anda” kata Kae-in. “Jangan panggil saya ibu” kata ibu Jin-ho marah. “Ibu”. Ibu Jin-ho dan Hye-mi kemudian pergi. Kae-in mencoba mengejar tapi tak berhasil.

Jin-ho kembali kerumah saat mendengar masalah itu. Hye-mi langsung bertanya kenapa Jin-ho bisa memilih wanita seperti itu dan berata kalau Kae-in masih menerima ayah Chang-ryul yang datang membawa banyak hadiah untuk Kae-in. “Kamu diam” kata Jin-ho. Ia kemudian menghampiri ibunya untuk menenangkan serta menjelaskan keadaan sesungguhnya. “Ibu, saya akan beritahu semuanya”. “Sebelum saya mati, dia pasti tidak akan berhenti. Jika kamu ingin melihat saya mati kamu lakukan hal begitu saja” kata ibu Jin-ho tak menyetujui hubungan Jin-ho dan Kae-in.

Sementara itu ayah Chang-ryul memarahi Chang-ryul, ia minta penjelasan kenapa putri Prof. Park bisa memanggil ibu Jin-ho dengan panggilan ibu mertua. Chang-ryul kaget sekaligus heran ayahnya bagaiman tahu hal itu.

Kae-in menunggu Jin-ho pulang dengan cemas. Ia berjalan mondar-mandir di teras dan saat Jin-ho pulang. Ia langsung tanya bagaimana keadaan ibu Jin-ho. Jin-ho malah tanya balik. Ia tanya kenapa ayah Chang-ryul datang membawa hadiah untuk Kae-in. Kae-in berkata kalau ia juga tidak tahu dan tak tahu harus melakukan apa dalam keadaan seperti tadi. Jin-ho curiga Kae-in mau berhubungan kembali dengan keluarga Chang-ryul. Kae-in menyakal dan berkata kalau Jin-ho sudah tahu maksudnya selama ini bersikap baik pada Chang-ryul. Jin-ho tetap memarahi Kae-in dan berkata seharunya Kae-in tidak balas dendam sejak awal. Kae-in mulai kesal dan balik bertanya kenapa Jin-ho tak mengatakan hal sebenarnya kalau ia bukan gay sejak awal. Mereka jadi bertengkar. Jin-ho kemudian pergi. Kae-in bingung harus melakukan apa.

Jin-ho sambil berlutut menjelaskan segalanya pada ibunya. Ibu Jin-ho tetap tak setuju Jin-ho berhungan dengan Kae-in karena dia dulu berhungan dnegan Chang-ryul. “Tapi saya duluan yang menyukai dia?” kata Jin-ho. Ibu Jin-ho kaget mendengarnya. “Jika dalam hati wanita masih ada sediit bayangan Chang-ryul, saya juga tidak akan melakukan begitu. Saya adalah anak ibu. Apa ibu ta bisa mengerti saya kah?”. ‘Saya tidak suka dia. Ta peduli dia bagaiman. Asalkan orang itu ada hubungannya dengan Han Chang-ryul. say tak beniat menerimanya menjadai menantu” kata Ibu Jin-ho kesal. “Ibu.. saya harus ada dia. Jia tida saya tak akan menikah” ancam Jin-ho. Ibu Jin-ho aget mendengarnya.
Young-soon sedang menenangkan Kae-in yang sedih karena masalah tadi. Ia berkata “Diantara pasangan kekasih bertengkar hanyalah seperti air pasang surut saja. Asal diantara kalian tidak mengambil hati. Tidak akan ada masalah”. “Waktu Jin-ho keluar, dia benar-benar sangat marah. Saya tak berani bertemu dengan dia lagi” kata Kae-in sedih. “Saya telepon Sang-joon dulu”. Kae-in kaget mendengarnya. “Saya sebenarnya sudah putuskan untuk tak menghubungi orang itu lagi tapi demi kamu, saya akan telepon dia”. “Kalau begitu Jin-ho sekarang lagi lakukan apa?”. “Asalkan tidak ada di kantor”. Tiba-tiba Young-soon dapat ide bahwa Kae-in harus ikut ke pulau Jeju menyusul Jin-ho. Kae-in bisa baik-baik menghibur Jin-ho di sana. Young-soon menyarankan agar Kae-in hamil dulu, pasti ibu Jin-ho akan menyetujui mereka.

Akhirnya Kae-in dan Young-soon pergi ke pulau Jeju. Di dalam pesawat sebenarnya Kae-in masih ragu. Tapi Young-soon menguatkan Kae-in agar yakin bahwa tindakannya benar dan Jin-ho pasti teharu jika melihatnya menyusul.

Saat di pulau Jeju Kae-in harus menunggu Young-soon di lobby hotel sebelum pergi. Young-soon beralasan tiba-tiba suaminya telepon jadi ia akan turun terlambat. Kemudian Young-soon menelepon Sang-joon dan memberitahu bahwa Kae-in ada di lobby hotel saat itu. Sang-joon berkata kalau Jin-ho juga sudah ada disana. Dan benar saja Jin-ho kaget melihat Kae-in sedang menunggu seseorang di lobby. Jin-ho senang sekali melihat Kae-in di sana dan merasa ialah yang sedang di tunggu Kae-in, ia lalu menghampiri Kae-in. “Nona Kae-in, kamu apakah begitu menyukai saya” kata Jin-ho tiba-tiba. Kae-in kaget mendengarnya, sekaligus kesal. Ia lalu pura-pura dingin dan berkata kalau ia ada kerjaan juga disana. Jin-ho tak percaya. “Saya tidak beralasan” kata Kae-in. “Kita keluar saja” kata Jin-ho sambil menggandeng tangan Kae-in pergi.

Jin-ho dan Kae-in pergi ke tepi pantai. “Bagaimana keadaan ibumu? Mungkin tidak akan mudah menurunkan amarahnya iya kan?”. “Asalkan kamu percayakan pada saya saja”. “Kamu mau melakukan bagaimana?”. “Keculi dia benar sanggup membunuh anaknya sendiri! Jika tidak ada Kae-in saya akan mati, saya bilang begitu”. “Jin-ho” kata Kae-in tak enak. “Jangan terlalu terharu saya katakan begitu” kata Jin-ho sambil senyum-senyum. “Apakah kamu benar mengira saya akan mati demi kamu?”. “Jangan bercanda, saya khawatir sekali memikirkannya” kata Kae-in kesal. Jin-ho lalu memeluk Kae-in dari belakang dan berkata “Saya tidak bercanda. Saya tidak akan berpisah dengan kamu, jadi jangan khawatir”. Kae-in dan Jin-ho akhirnya bisa senyum bersama lagi sekarang.


“Kita mau tidak pura-pura bertengkar?” ajak Jin-ho saat mereka kembali ke hotel. “Apa?” kata Kae-in kaget. “Mempermainkan Young-soon dan Sang-joon bukankah sangat menyenangkan”. “Kamu ini benar-benar jahat”. Tiba-tiba mereka berpapasan dengan Do-bin. Jin-ho langsung memberi hormat. “Acara di Jepang lebih cepat berakhir, jadi saya lebih awal kesini” kata Do-bin. Ia lalu mengajak mereka malan malam bersama. Kae-in jadi tidak enak pada Do-bin keran Do-bin memintanya untuk mendekatkan dia dengan Jin-ho. Jin-ho berkata kalau ia ingin mengatakan sesuatu pada Do-bin. Do-bin kaget dan bertanya apa ingin diucapkan sekarang. “Ya” kata Jin-ho. “Baiklah, ayo” kata Do-bin senang. “Ini adalah bagian yang mau saya selesaikan. Pergi langsung datang” kata Jin-ho pada Kae-in sebelum pergi.

Kae-in masuk hotel dan berpapasan dengan Chang-ryul. Chang-ryul kaget melihat Kae-in ada disana. Kae-in kemudian menghampiri Chang-ryul dan berkata kalau ia ingin berbincang sebentar dengannya di luar. Di sisi lain In-hae melihat kejadian itu, tiba-tiba ia merasa dapat ide.
Jin-ho bicara dengan Doo-bin di suatu tempat. Jin-ho berkata kalau ia sangat berterima kasih pada Do-bin. Do-bin berkata agar Jin-ho tak menjadikannya beban, ia hanya ingin Jin-ho menganggapnya seperti ia sedang menaruh saham pada diri Jin-ho saja. Sehingga lain kali Jin-ho bisa tidak pura-pura tidak mengenalnya. Jin-ho jadi tak enak mendengarnya. Do-bin yang melihat air muka Jin-ho kemudian tanya sebenarnya apa yang ingin Jin-ho katakan padanya. Tapi tiba-tiba Do-bin mengalihan pembicaraan dan berkata kalau ia telah menemukan lukisan dan ingin memberiannya pada Jin-ho. Jin-ho dengan sopan menolaknya. Do-bin berkata sebenarnya ia tahu pemberiannya akan di tolak, tapi ia tetap merasa kecewa karena penolakannya itu. Do-bin lalu berkata sebenarnya ia tak tahu Jin-ho mau bicara apa, tapi dari air muka Jin-ho ia bisa tahu dan ia bilang ia belum siap mendengarnya saat itu. Sebelum pergi ia minta Jin-ho membicarakan hal itu lain kali saja. “Ketua Choi” kata Jin-ho tiba-tiba.

Di tempat lain Kae-in memperingatkan Chang-ryul agar berkata pada ayahnya untuk tidak menemuinya lagi. “Ya, saya bisa” kata Chang-ryul. “Selama ini saya telah begitu dalam melukaimu. Lain hari saya tidak ingin begitu lagi” lanjut Chang-ryul. Kae-in jadi tidak enak, ia minta maaf karena telah berniat balas dendam padanya. Chang-ryul tersenyum dan berkata “Kamu juga tidak bisa baik-baik balas dendam kan? Buat apa menyalahkan diri?”. Kae-in kemudian pamit masuk ke hotel kembali. “Kamu bahagia kan?” tanya Chang-ryul tiba-tiba. Kae-in berbalik. “Saya tanya kamu dan Jin-ho bahagia kan?” kata Chang-ryul lagi. Kae-in mengangguk. “Kalau begitu saya sudah bisa melepaskanmu” kata Chang-ryul kemudian mau pergi juga. Tiba-tiba Chang-ryul melihat sebuah truk melaju kencang kearah Kae-in. Ia berlari menyelematkan Kae-in.

“Maaf” kata Jin-ho pada Do-bin. “Maaf apa?”. “Saya mencintai Park Kae-in” kata Jin-ho langsung. Do-bin kaget mendengarnya. Chang-ryul berhasil menyelamatkan Kae-in tapi ia malah yang tergeletak tak sadarkan diri. Kae-in jadi khawatir melihatnya.

0 comments:

Post a Comment